Beliau adalah dosen psikologi di kampus. Karena aku ketua kelas, bisa dibilang aku cukup akrab dengannya dalam berbagai hal. Beberapa kali diajak mengikuti kegiatan dan juga bercengkrama untuk bicara soal kelas atau pelajaran. Apapun mulai dibahas dengannya.
Siang itu, aku coba membujuknya untuk membantu membimbingku dalam menulis laporan. Alhamdulillah, dia baik sekali dan mau mengoreksi. Aku yang saat itu ditemani oleh teman dekatku, Ayu, kemudian diajak untuk menemaninya makan siang.
"Kalian mau eskrim gak? Nanti saya ajak siang ini," ajaknya.
Sebagai pecinta eskrim, aku dan Ayu hanya tersenyum. Sebenarnya saat itu kami berdua ingin fokus menulis laporan dan ingin menyelesaikannya. Tapi, kami juga tak berani untuk menolak ajakan beliau itu. Alhasil, kami mengiyakan ajakannya.
Kemudian, kami pergi menuju salah satu mal di Depok. Beliau menyuruhku untuk memesankan taksi online dan kami segera menuju ke sana. Lalu, sesampainya di sana, beliau mengajak kami berdua ke tempat jual eskrim.
"Kalian pilih satu satu eskrimnya, nanti habis itu kita makan siang," katanya.
Aku dan Ayu tercengang. Eskrim yang dilihat dalam etalase harganya begitu mahal. Ya, mungkin aku dan Ayu memang terbiasa makan eskrim yang murah aja. Kau tahu, satu eskrim yang segelas kecil dihargai Rp50.000-an. Sementara, jiwa missqueen-ku meronta-ronta wkwkwk.
"Yaampun pak, mahal banget," kataku.
"Iya, pak, mending satu berdua aja deh pak," lanjut Ayu.
Kemudian, beliau menjawab, "Ambil aja satu-satu, memang harganya segitu, tapi rasanya enak banget, beda sama eskrim biasa."
Kami yang merasa bersalah itu mengiyakan perkataannya. Akhirnya kami beli dua eskrim dan lanjut untuk makan siang. Beliau mengajak kami ke tempat makan Jawa yang sejujurnya aku kurang suka hahaha. Tapi, ya namanya juga diajak ya gimana nolaknya kan. Mungkin dia lagi mau makan itu wkwk.
Nah, poin pentingnya adalah saat kita bertiga makan.
Sesampainya di tempat makan, kami memesan makanan masing-masing dan menunggu makanan hingga datang. Di waktu menunggu lah, tiba-tiba dosenku mengajari kami banyak hal.
Sebagai dosen psikologi, dia sangat ahli membaca mimik wajah, karakter seseorang, perasaan seseorang, dsb. Dan kali itu, aku menjadi bahan koreksiannya. Dia mengatakan banyak hal dari diriku saat itu.
Dia mengatakan senang ketika melihat wajah Ayu. Katanya, Ayu itu selalu santai menghadapi kehidupannya. Tidak seperti aku, yang terlalu tinggi interpersonalnya. Ya, katanya aku terlalu banyak merenung hingga pusing dengan pikiranku sendiri.
Secara garis besar, apa yang dikatakannya 90% benar. Yang menurutnya A, ya begitu pula yang aku rasa. Yang menurutnya B, ya itu juga yang aku rasa. Tidak meleset sedikitpun. Bahkan, dari kisah percintaan atau gaya hidupku saja dia paham. Dari situlah aku belajar.
Ada satu poin yang menjadi sorotanku siang itu.
"Kamu posesif," katanya.
"Memangnya posesif bisa dilihat dari muka, pak?" tanyaku.
"Engga. Tapi beberapa hal yang kamu tunjukkan lewat muka, bisa mengarahkan kamu ke sifat posesif itu," jelasnya.
"..." aku diam.
"Kenapa sih kamu sampe posesif kayak gitu?" tanya dia.
"Saya gak tau pak, mungkin karena saya ngerasa takut kehilangan aja," jelasku.
Ya, bisa dibilang aku ini cukup posesif. Apalagi kalau udah sayang dan nyaman sama seseorang. Tapi, aku gak tau, hal apa yang bisa bikin aku keliatan posesif. Aku kira, mungkin sifat itu cuma bisa dirasain sama orang yang pernah menerima dampak/perlakuan dari aku. Cuma, ke pak Fauzy gak pernah lah wkwkw Tapi gatau kenapa dia tahu juga hal itu.
"Saya tau kenapa kamu takut kehilangan sesuatu," tambahnya.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kamu terlalu merasa dirimu rendah dan kurang," jawabnya singkat.
Aku tersenyum. Mungkinkah aku seperti itu?
Lalu, aku berpikir sebentar. Ya, ternyata aku memang seperti itu. Aku terlalu merasa kurang, aku selalu melihat kelebihan orang lain dan lupa sama kelebihan sendiri. Aku juga selalu melihat kekurangan diri, tapi lupa kekurangan orang lain.
Padahal, setiap diri seseorang pasti ada keduanya, dan aku lupa akan hal itu, secara gak sadar hal itu berjalan tidak normal. Pikiranku terlalu fokus pada kekurangan.
"Jadi, apakah saya kurang bersyukur pak?" tanyaku lagi.
"Saya gak tau, itu urusan kamu sama Allah," jawabnya.
Baiklah, dari situ saya benar-benar tertampar. Dari semua perkatannya, aku menoleh kembali ke sifat-sifat dan sesuatu yang aku kerjakan di masa lalu. Mungkin ada yang terlewat atau bahkan tidak aku sadari telah melakukan kesalahan.
Hari sudah mulai sore, kami bergegas sholat ashar dan kemudian hendak pulang. Di penghujung pertemuan, beliau berkata, "Kamu cantik, pinter, tapi sayang kurang bahagia."
Ya, mungkin aku kurang bersyukur dan terllau over thinking.
"Jangan terlalu lama begini, kamu masih muda," lanjutnya.
Terima kasih, pak. Saya selalu dapet pelajaran baru dari Bapak setiap kita bertemu. Semoga ini bisa menjadi resolusi baruku: bersyukur dan menerima kelebihan kekurangan diri maupun orang lain. Saya lakukan ini untuk bahagia pak, semoga berhasil wkwkw.
Kata bapak, bahagia itu gak melulu soal cinta. Posesif pun bukan jadi masalah utama dalam diri, tapi ya itu, sikap atau sifat yang kita punya bisa menghasilkan sifat-sifat yang lain. Semoga aku bisa jadi lebih baik lagi ya, semoga kamu yang baca juga hehe.
Makasih sudah mendengar ceritaku, semoga ada hikmahnya ya. aamiin.