Menyusun tugas akhir di tengah pandemi ini cukup menguras batin dan pikiranku. Pasalnya, dari awal aku sudah tidak mendapatkan semangat karena kondisi tiba-tiba berubah seperti ini. Qadarullah sih, kita sebagai manusia tidak bisa menolak ketetapan-Nya. Jadi, aku hanya bisa menjalaninya semmapu dan sekuat tenagaku.
Awal menyusun tugas akhir ini sebenarnya ada sesuatu hal yang sempat mengganjal saat itu, yaitu tentang dosen pembimbing. Di awal aku berpikir untuk mencari teman seperbimbingan yang nantinya bisa berproses bersama. Tapi, di sisi lain aku memikirkan kembali tentang topik yang aku bahas nanti. Apa mungkin lebih mementingkan teman daripada dosennya?
Jadi, banyak kabar-kabar tak mengenakkan mengenai tugas akhir ini. Ada yang bilang, dosen A ini killer banget kalau sidang, jadi sebisa mungkin cepet-cepetan dapetin dosen A ini jadi pembimbing biar nanti gak ketemu di sidang. Ya, begitulah, ada beberapa dosen yang diantisipasi orang-orang biar gak ketemu di sidang tugas akhir nantinya.
Lalu, bagaimana dengan aku? Hahaha, dari sekian banyak teman-teman, aku adalah salah satu mahasiswa yang takut mendengar kabar itu. Tapi, bagaimana jika semuanya menyerbu dosen itu? Bagaimana dengan kuotanya, apakah akan terpenuhi? Apakah aku akan mendapatkan dosen pembimbing dia?
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil jalan lain. Jadi, aku justru mencari dosen pembimbing yang bisa membantuku untuk menyelesaikan tugas akhir dengan cepat. Ya, mungkin banyak orang yang tidak sependapat. Tapi, aku justru memprioritaskan proses penyusunan tugas akhir daripada sidangnya.
Dari keputusan itu, sebenarnya masih ada hal mengganjal lainnya. Misalnya, aku jadi gak punya teman seperbimbingan. Ya, teman kelasku gak ada satu bimbingan yang sama denganku. Ada sih di kelas, tapi sayangnya mereka mengambil tentang fotografi, berbeda dengan aku yang mengambil tentang reporter. Ah, pokoknya sedih banget saat itu.
Berproses di tengah pandemi ini cukup menyesakkan hati. Aku harus mandiri dan berproses sendiran, gak ada temen deket, gak ada yang bisa diajak diskusi, dll. Sedih banget perasaan aku saat itu. Sementara teman-teman lain berdiskusi bersama antardosen pembimbing yang sama. Sedangkan aku? Diam, sendirian, tanpa diskusi sama siapa-siapa.
Yaudah deh, aku akhirnya berproses aja sendirian. Gak peduli orang udah sejauh mana, sampai mana, yang jelas aku terus berjalan tanpa peduli sekitar. Sambil mencari teman-teman baru yang mau diajak berproses bareng.
Alhamdulillah, tidak disangka Allah memberikan kejutan luar biasa. Dari kesedihan yang aku jalanin di awal, aku diberikan kemudahan dalam menulis tugas akhir dan akhirnya aku bisa selesai lebih dulu. Bahkan, aku juga diberikan teman seperjuangan yang mau diajak sama-sama, hahaha alhamdulillah.
Aku juga bersyukur akhirnya semua ada hikmahnya. Ake daftar sidang duluan, lalu dapat jadwal duluan, dan sidang duluan.
Begitulah, keluar dari zona nyaman emang akan terasa pahit pada awalnya. Aku yang gak biasa sendirian harus memaksa diri untuk bekerja sendirian. Berusaha bersifat cuek sama orang lain dan gak membanding-bandingkan proses orang dengan diri kita. Tapi, keberkahan Allah itu nyata. Dari kesedihan aku belajar banyak hal hingga akhirnya bisa bahagia.
Akhirnya, kini drama tugas akhir sudah selesai aku jalani. Tidak ada lagi berburu tanda tangan, tidak ada lagi drama stress nunggu bimbingan dan revisian, tidak ada lagi rasa deg-degan sidang. Semuanya bisa aku jalani. Begitulah kadang kita merasa tidak mampu, padahal Allah akan selalu memberikan kita ujian sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Aku percaya, proses orang akan selalu beda. Hasil pun tak akan pernah mengkhianatinya. Semangat terus, ya, kawan-kawan. Selamat yang sudah berhasil melewati ujian dalam hidup kalian. Bagi yang sedang menjalani, nikmati saja. Semua akan indah pada waktunya.