Rumah berpilar berwarna putih itu sudah terlalu sepi selama kurang lebih lima tahun. Papa dan Mama yang bekerja setiap hari sering menghabiskan waktu di luar rumah. Sementara Fatia hanya menghabiskan waktunya untuk sekolah dan bermain di rumah. Sesekali ia ajak teman-temannya untuk berkunjung dan menghabiskan waktu bersama.
Fatia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakak kandungnya merantau di Pulau Dewata untuk menimba ilmu di universitas pilihannya. Tapi, hari itu adalah hari pertama ia kembali ke rumah. Dengan perasaan bahagia, Fatia turut membantu kepulangan kakaknya itu.
“Assalamu’alaikum, Fatia,” salam Audri dari balik telepon.
“Wa’alaikumussalam, kak Audri. Kakak pulang kapan?” tanya Fatia.
“Ini kakak sudah di bandara, lagi menunggu pesawat. Tolong bilang ke Pak Wisnu jemput aku di bandara jam 5 ya,” ujar Audri.
“Oke, kakak. Fatia boleh ikut?” tanya Fatia.
“Boleh dong, kakak juga bawa oleh-oleh nih untukmu,” kata Audri.
“Wah, asyik! Baiklah, aku siap-siap dulu deh, kak. Kakak hati-hati di jalan ya, jangan lupa berdoa,” pesan Fatia kepada Audri.
“Iya, makasih banyak ya, Fat. Ya sudah, jangan lupa bilang ke Pak Wisnu ya. Assalamu’alaikum,” kata Audri.
“Waalaikumussalam,” jawab Fatia, lalu telepon ditutup.
Fatia segera memberitahu Pak Wisnu. Ia meminta sopirnya itu untuk menyiapkan mobil dan menjemput Audri di bandara. Fatia pun menyiapkan diri untuk bertemu dengan kakak yang usianya berbeda 13 tahun itu. Ia sangat rindu dengan kakaknya yang dulu setiap hari mengajarinya membantu pekerjaan rumah (PR).
Pintu garasi sudah dibuka. Pak Wisnu segera mengeluarkan mobil berwarna putih yang biasa digunakan untuk mengantar Fatia sekolah. Fatia pun sudah siap menjemput sang kakak. Lalu mereka pergi menuju bandara.
“Mama Papa sudah diberitahu, non?” tanya Pak Wisnu dalam perjalanan.
“Sudah, tapi mereka gak bisa jemput, pulang malam katanya,” kata gadis berjilbab merah kala itu.
“Baiklah,” jawab Pak Wisnu singkat.
Pak Wisnu kembali fokus menyetir, sementara Fatia asyik dengan buku bacaannya diiringi dengan lagu-lagu yang diputar di mobil. Fatia memang terlihat akrab dengan Pak Wisnu dan juga Mpok Leha, asisten rumah tangganya. Semenjak orang tua Fatia sibuk bekerja, Fatia lebih sering diasuh oleh Pak Wisnu dan Mpok Leha yang 24 jam selalu menemaninya.
Tak lama sampailah di bandara yang dituju. Dari kejauhan sudah terlihat Audri dengan baju biru beserta koper dan barang-barangnya. Fatia turun dari mobil dan segera memeluk erat kakaknya yang jarang pulang itu. Audri pun menangis haru karena celengan rindu pada adiknya sudah pecah. Kini saatnya kembali ke rumah untuk kembali bersama-sama.
“Dek, kamu kok jadi kurus gini?” tanya Audri dalam perjalanan menuju rumah.
“Masa sih kak?” tanya Fatia bingung.
“Iya, makannya susah ya kamu?” tanya Audri.
“Iya tuh non, bekalnya tidak pernah habis kalau di sekolah,” saut Pak Wisnu.
“Ih, Pak Wisnu. Jangan kasih tau kakak dong,” kata Fatia, lalu menekuk wajahnya.
“Hayo, kamu ini jangan susah makan. Kakak aja kemarin nge-kost udah susah makannya. Kamu nih selagi masih kecil, manfaatin segala hal yang enak-enak di rumah,” jelas Audri.
“Emang iya kak?” tanya gadis 10 tahun itu.
“Iya, nanti kamu tau sendiri rasanya. Nanti kakak ceritain deh pengalaman kakak selama jauh dari rumah,” kata Audri.
“Oke deh, aku tunggu cerita kakak,” kata Fatia.
Waktu itu, katanya, mama dan papa hanya ingin memiliki satu anak. Qadarullah, Allah memberikan satu anak lagi untuk menemani hidup Audri. Lahirlah Fatia setelah Audri berusia 13 tahun. Sejak saat itulah Audri merasa ada saudaranya yang selalu menemani dia di rumah. Itulah mengapa Audri sangat menyayangi Fatia sebagai adik dan juga sahabat seumur hidupnya.
Tak terasa, mereka sudah sampai di rumah. Mobil segera masuk garasi dan menurunkan barang-barang bawaan Audri. Mulai dari koper merahnya yang besar, beberapa kardus yang berisi barang-barang sisa ngekost, dan ada pula tas yang berisi makanan dan oleh-oleh dari Bali.
Pak Wisnu dan Mpok Leha mengangkat barang satu per satu ke dalam rumah. Audri juga tak hanya diam, ia membawa sebagian barang-barangnya itu untuk dibawa ke kamar. Sementara Fatia pun ikut membantu membawa barang-barang yang ringan untuk dibawa ke dalam rumah.
Setelah semua barang selesai ditaruh di dalam, saatnya Audri merapikan barang-barangnya di kamar. Dengan wajah iba, Fatia pun turut membantu karena ia tahu bahwa kakaknya pasti sangat lelah setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali menuju rumah.
“Sini kak, Fatia bantu ya,” jawab gadis kecil berlesung pipi itu.
“Aduuh, adiknya kakak nih baik banget sih,” kata Audri sambil mencubit pipi Fatia.
“Iya, kakak pasti lelah. Ya sudah, aku bantu beresin buku-buku ya,” kata Fatia.
“Baiklah, kalau begitu kakak beresin baju-baju ya,” kata Audri membagi tugas.
Kemudian mereka sibuk beres-beres. Tiba-tiba, Fatia menemukan beberapa buku yang menurutnya belum pernah dilihat sebelumnya.
“Kak, ini buku apa?” tanya Fatia sambil mengangkan satu buku bergembok kecil itu.
“Oh, Itu buku diary kakak,” jawab Audri.
“Buku diary? Satu, dua, tiga, empat… Ada lima?” tanya Fatia sambil menghitung heran.
“Iya, buku yang merah, kuning, hijau, biru, ungu. Itu semua buku diary kakak,” jelas Audri pada adiknya itu.
“Loh, sejak kapan kakak suka menulis diary? Terus kok harus banyak banget gitu, emangnya satu gak cukup?” tanya Fatia dengan polos.
“Sejak kecil, bahkan sebelum kamu lahir kakak udah suka nulis-nulis diary,” jelas Audri sambil merapikan baju-baju ke dalam lemari.
“Sejak kecil? Buat apa kecil-kecil sudah menulis diary?” tanya Fatia penasaran.
“Kamu tau dek? Diary itu bisa menerima semua cerita-cerita kita tanpa terkecuali. Yaa meskipun kalau ada masalah dia gak bisa kasih solusi. Tapi kakak rasa menulis diary itu bisa mengutarakan segala emosi kakak. Mulai dari rasa sedih, senang, suka, duka, dan lain-lain,” jelas Audri pada Fatia.
“Terus, kenapa harus sejak kecil?” tanya Fatia.
“Semakin lama kita banyak berlatih menulis, semakin bagus juga kemampuan menulis kita. Jadi, kakak mulai biasakan sedari kecil untuk bisa menulis dari hal-hal paling sederhana, seperti menulis di diary,” kata Audri.
“Emang apa yang kakak tulis di sini?” tanya adiknya itu sambil menunjuk diary berwarna kuningnya.
“Banyak hal. Mulai dari masalah yang kakak hadapi, masalah pertemanan, rencana beberapa hari ke depan, agenda yang minggu ini kakak lakukan, dll,” ujar Audri.
“Ohh begitu, seru emang ya kak nulis begitu-begitu?” tanya Fatia yang cempreng itu.
“Seru dong. Kita bisa berekspresi lebih banyak di diary ini. Oiya, kamu tau gak, menulis diary juga bisa mengasah kedisiplinan kita loh,” kata Audri.
“Ohh ya? Masa sih?” tanya Fatia.
“Iya, beneran. Kamu bisa konsisten menulis, mengatur jadwal kegiatanmu sehari-hari, emosimu juga tertuang dan menghindari kamu dari stres pastinya,” kata Audri.
“Wah, aku jadi tertarik untuk punya diary,” kata Fatia.
“Benarkah? Kalau begitu, simpanlah diary-diary milik kakak ini sebagai motivasimu, taruh di kamarmu tapi jangan dibaca ya, simpan dulu. Sekarang kakak kasih kamu buku warna pink ini untuk kamu tulis segala curahan hati kamu. Setelah itu, nanti kita akan buat agenda untuk membaca diary kita sama-sama, gimana? Seru kan?” ajak Audri kepada adiknya.
“Ayok! Aku setuju, makasih yah kak, aku janji akan menulis buku ini sampai selesai,” jawab Fatia dengan tersenyum.
“Iya, sama-sama sayang,” jawab Audri lalu memeluk adiknya.
Hari demi hari sudah dilewati bersama. Audri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan Fatia masih sibuk dengan sekolahnya. Tapi kali ini, hari-hari Fatia sudah ditemani oleh tulisan-tulisan di diary-nya. Ia merasa diary-nya lah yang sudah mendengarkan segala ceritanya saat Audri belum pulang dari kantor. Ia sudah mulai terbiasa untuk rutin mengisi buku kecil berwarna merah muda itu.
Hingga suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Audri tinggal kembali di rumah, penyakit Fatia kambuh. Hidungnya berdarah dan tangannya mulai dingin. Wajahnya pucat pasi dan matanya mulai sembap. Pak Wisnu dan Mpok Leha yang menyaksikan itu langsung membawanya ke rumah sakit. Mama, papa, dan Audri langsung dihubungi untuk segera menyusul.
Qadarullah, itulah hari terakhir Fatia tinggal di bumi. Penyakit kanker yang dideritanya sudah menggerogoti tubuh Fatia selama kurang lebih 7 tahun. Audri yang saat itu sangat terpukul, menangis tersengut-sengut. Ia merasa belum membahagiakan adik satu-satunya itu. Terlebih ia sudah meninggalkan adiknya sendirian di rumah selama ia kuliah. Audri benar-benar merasa bersalah.
Segala rangkaian pemakaman sudah dilakukan. Saatnya kembali ke rumah dengan keadaan baru dan suasana yang baru, hidup tanpa gadis kecil yang ceria di rumah itu. Mama dan Papa juga sangat menyesal sudah sering menghabiskan waktu di luar dan jarang menemani Fatia di rumah. Setelah kepergiannya, mereka baru menyadari bahwa mereka sangat menyayangi Fatia.
------------------------------------------------------
“Dear diary. Ini hari pertamaku menulis di diary. Buku ini pemberian dari kakakku yang baru saja pulang dari Bali. Aku sangat senang, akhirnya ada yang menemani aku lagi di rumah. Dia bisa membantuku mengerjakan PR-PR lagi. Terima kasih ya Allah, sudah memberikan aku kakak terbaik yang pernah hadir di bumi. Fatia sangat sayang kak Audri, Mama dan juga Papa. Sesibuk apapun mereka, Fatia tetap sayang. Semoga kesibukan mereka selalu berada di jalan-Mu ya Allah. Aamiin. Ttd, Fatia.”
Audri membaca tulisan-tulisan di buku diary milik adiknya itu. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia memeluk diary itu erat-erat dan turut mendoakan kepergian adik hebatnya itu, Audri berjanji untuk melanjutkan isi diary milik Fatia yang belum selesai di tulis. Karena Fatia pernah berjanji untuk mengisi bukunya tanpa halaman tersisa. Audri terdiam, lalu tertidur di kamar adiknya itu. “Dik, jadi kapan kita bisa membaca buku diary kita sama-sama?” batin Audri sebelum tidur.