Nyatanya, hal itu tidak semudah dilakukannya. Katanya, kesederhanaan saja mampu untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Yang terlalu sederhana justru kalah dengan hal-hal yang lebih luar biasa. Namun, seperti yang kita tahu, biasa dan tidak biasa adalah hal yang tidak ada tolok ukurnya. Semua orang pasti punya pandangan berbeda.
Terkadang, orang dewasa melakukan sesuatu hanya untuk menyeimbangkan harapannya, agar di suatu hari nanti ia mendapatkan hal yang setidaknya setimpal dengan apa yang dia lakukan sebelumnya. Misalnya, seseorang membelikan seporsi nasi goreng untuk seseorang yang kelaparan, dengan harapan jika suatu saat nanti ia kelaparan, setidaknya ada seseorang yang juga memberikan seporsi nasi goreng untuknya makan. Sesimpel itu.
Namun, nyatanya gak semua hal seperti apa yang dibayangkan. Mungkin saja balasan dari sebuah kebaikan itu tidak akan sama, bahkan seringnya begitu—atau bahkan kita tidak menemukan balasannya saat itu juga. Bisa saja saat kita kelaparan, ada seseorang yang juga memberi makan, tetapi bukan nasi goreng, ia memberikannya nasi hanya dengan ikan asin. Jauh di luar ekspektasi bukan?
Bahkan, bisa jadi tak ada seorang pun yang peduli kita sudah makan atau belum? Karena tidak sedikit orang yang mengurusi dirinya sendiri dan tidak peduli sama kehidupan orang lain. Ya, kehidupan ternyata sekejam itu. Ekspektasi nyatanya hanyalah sebuah musuh terselubung yang sering mengikuti seseorang, terlebih orang dewasa.
Saat kita membutuhkan waktu seseorang, orang lain belum tentu menghabiskan waktunya untuk kita. Jangankan dihabiskan, diluangkan saja belum tentu. Masing-masing pasti punya prioritas, dan kita belum tentu di antaranya. Lalu, apakah kita bisa meminta lebih? Apakah kita punya hak itu?
Sejatinya, kita punya waktu masing-masing. Itu artinya, kita berhak membagi waktu kita pada apapun prioritasnya. Tapi, lagi-lagi kita harus ingat, tidak semua orang itu sama seperti apa yang ada di pikiran kita. Jadi, berharap pada manusia hanya akan membuka sebuah luka baru.
Sama halnya ketika kita mencintai seseorang, yang nyatanya punya segala hal lebih daripada kita; keluarga yang kaya, keturunan yang baik, pendidikan yang tinggi, bergaya lebih modis, dan segala yang jauh berbeda dengan kita yang sederhana, apa adanya, pun pendidikan di keluarga tidak setinggi keluarganya. Mungkin di satu sisi kita akan berharap ada sebuah konsep penerimaan yang terjadi, tetapi kita kadang lupa bahwa ada kemungkinan lain, yaitu ketidakcocokkan dan penolakan.
Lagi-lagi, ini sebuah konsep penerimaan yang bukan kita sebagai kendalinya. Kita tidak bisa meminta lebih pada orang lain agar bisa menerima kita.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk memberi waktunya.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk menjadi apa yang kita pikirkan.
Tidak bisa. Manusia tidak kuasa atas manusia yang lain.
Kuasa kita hanya pada diri kita sendiri. Kita punya ego masing-masing yang tidak bisa disamaratakan.
Untuk itu, kalau lagi benar-benar merasa sendiri, lakukankan hal baik di dalam kesendirian itu. Banyak-banyak bersyukur karena itu artinya kesendirian menjadi bagian dari proses kedewasaan. Biarlah orang bertebaran pergi satu per satu. Tapi, kamu punya dirimu sendiri yang bisa memahamimu.
Tahanlah ego diri, pahamilah ego orang lain. Jangan bersedih hanya karena belum mendapatkan peneriman itu. Ini sebuah hal wajar yang harus kita hadapi.
Percayalah, akan ada waktunya ada orang yang mau menerima kesederhanaan kamu, mau meluangkan waktunya untukmu, mau memberikan perhatiannya untukmu, menghabiskan waktu denganmu, dan menerima apa adanya kamu—meskipun mungkin banyak keberagaman antara kamu dan orang itu.
Kamu hanya belum menemukannya, bukan tidak memilikinya.