Kalian pernah gak terjebak dalam suatu hubungan yang kalian sendiri gak tahu bagaimanya cara menyudahi hubungan yang mungkin sudah kalian anggap terlalu jauh?
Kalau pernah, artinya kita sama. Aku pernah berada di masa-masa itu. Masa di mana pada waktu itu aku sedang dekat dengan seseorang, menjalin komunikasi yang intens, pertemuan yang terlalu sering, sampai-sampai sering menghabiskan waktu bersama.
Namun, di satu sisi, aku dibesarkan keluarga di lingkungan yang paham agama. Aku disekolahkan di sekolah Islam yang karena itulah sebenarnya aku sudah tahu betul hal yang sedang aku jalani itu memang bukan pilihan terbaik.
Dekat dengan lawan jenis membuat aku senang, tetapi di satu sisi aku merasa sangat berdosa karena telah mengiyakan perasaan itu datang dan menguasai diriku lama-lama.
Kalau kata temanku, saat itu pikiran dan hati sedang tak jalan beriringan. Hati saat itu merasa tak nyaman, tetapi di dalam pikiran, ini adalah hal yang wajar aku lakukan ketika dua orang saling mencintai dan memendam perasaan.
Saat itu aku benar-benar bingung dengan apa yang aku lakukan. Aku tahu aku berdosa, tetapi aku juga seang mencintainya--seseorang yang saat itu menjadi pemeran utama di kehidupanku. Rasanya sangat menyenangkan bisa menikmati perasaan itu bersama, tetapi di wakt yang bersamaan perasaan bersalah pada diri sendiri selalu bergentayangan.
Mungkin, kondisi ini bukan cuma aku yang pernah alami. Aku yakin, banyak di antara kalian juga pernah ada di posisi ini. Apalagi kalau pada diri sudah tertanam sebenarnya perihal pondasi keagamaan yang sedikit banyaknya sudah menjadi bagian dalam prinspi hidup dan keseharian.
Kalau ada di kondisi ini, segeralah berkaca dan cari jalan terbaik.
Mungkin menjalin sebuah hubungan dengan lawan jenis memang sangat menyenangkan. Namun, kita harus yakini satu hal, bahwa perasaan yang muncul sebelum pernikahan adalah cinta yang Allah sebut ujian. Di sanalah tujuan Allah untuk mengetahui, apakah cinta ini membuat kita mendekat pada-Nya atau justru semakin menjauhkan-Nya.
Pilihan yang bijaksana pasti jatuh pada mereka yang mendahulukan Allah di atas segalanya. Kita juga perlu meyakini bahwa perasaan cinta yang datang kepada kita itu berasal dari Allah juga. Jadi, seharusnya mau senyaman apapun hubungan itu, Allah harus tetap menjadi nomor satunya. Sudahkah kita menempatkan-Nya dengan tepat?
Kalau belum, kita tidak perlu ragu untuk meninggalkan seseorang demi merebut kembali keridhoan-Nya. Mungkin, setelah kita memutuskan untuk meninggalkan si dia, kita khawatir akan merasa kesepian, merasa bersalah karena telah meniggalkannya, merasa sedih karena tak lagi bisa bersama dia.
Tapi, pernahkah kita berpikir, jika Allah yang kita tinggalkan demi seseorang, apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita selanjutnya? Apakah mungkin si dia ini bisa menjamin semua masa depan yang baik kepada kita? Tidak. Bahkan dirinya sendiri tak pernah tahu bagaimana takdir dirinya di masa depan.
Untuk itu, tidak ada kata terlambat untuk kembali kepada Allah. Hubungan yang sudah terlalu jauh pun tetap harus diakhiri agar tidak semakin jauh. Jika cinta itu membuat kita tidak nyaman dan menjauhkan kita dari Allah, artinya cinta itu menjadi ujian. Ia berhasil memfoksukan diri kita kepada duniawi.
Sementara itu, kalau kita berani meninggalkannya, percayalah bahwa Allah akan memudahkan kita. Mungkin kita kehilangan cinta itu, tetapi Allah akan menjamin kebahagiaan kita di lain tempat; entah itu soal karier, keluarga, atau teman-teman. Atau bahkan, Allah sedang menyiapkan cinta yang lebih baik yang jelas diridho-Nya.
Jangan pernah takut meninggalkan maksiat, kawan.
Awalnya memang berat, tapi in shaa Allah tak akan lagi membuat penat dan kita akan meraih kebahagiaan dunia dan juga akhirat.
Tetap semangat!
Allah akan selalu menerima manusia-manusia yang ingin bertaubat.