Nurnafisah's Blog

This is my e-dairy of #MenebarCahaya

  • Home
  • Tentang Aku
  • Tips & Info
  • Sajak
  • Kontak


Dalam hidup ini, mungkin kita telah banyak menemukan pertanyaan-pertanyaan dari orang lain tentang sebuah kesiapan.

Mungkin ada yang pernah bertanya, bagaimana kita bisa siap menghadapi cobaan yang terjadi pada cerita hidupnya? Sementara, cobaan yang datang juga bukan suatu hal yang pernah diduga apalagi direncana. Kita mungkin bisa menjawab bahwa kita tidak pernah siap akan itu semua. 

Mungkin ada juga yang pernah bertanya, bagaimana bisa kita merasa siap saat akan menghadapi ujian? Merasa sudah hebat, siap, dan tenang akan hasil. Sementara yang sudah belajar dari jauh-jauh hari saja nilainya masih kalah sama orang-orang yang lebih pemalas daripada kita. 

Mungkin ada juga yang pernah bertanya, bagaimana bisa dengan usia yang masih muda telah siap menjalani bahtera rumah tangga? Sementara, banyak sekali pernikahan di usia yang sudah tua akhirnya berhenti di tengah jalan, padahal dahulu pernah menyatakan sebuah kesiapan. 

Mungkin ada juga yang pernah bertanya, bagaimana bisa kita menerima takdir kehilangan atas seseorang?sementara, hati merasa benar-benar sakit ketika mendengar kabar sepeninggal orang tersayang. Apakah tangis yang terurai adalah bentuk dari sebuah kesiapan?

Bagaimana bisa sebuah kesiapan mengkhianati hati-hati manusia itu?

Sejatinya, jika kita bicara tentang kesiapan, manusia tidak akan pernah siap. Seseorang pernah berkata padaku, bahwa orang-orang yang merasa sudah dewasa pun belum tentu "siap" dalam menjalankan apa yang akan terjadi di kehidupannya.

Kesiapan sangat tidak terikat dengan kedewasaan atau umur seseorang. Tua muda bukan satu alasan yang bisa mencerminkan sebuah kesiapan. Sebab, setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Sesiap apapun dirinya dan sesempurna apapun kesiapannya, pasti akan selalu ada yang kurang. Dan lambat laun kesiapan itu (serasa) memudar. 

Padahal, sejatinya memang manusia yang tidak pernah puas. Kesiapan bukanlah target paling ujung dari setiap perjalanan manusia, sebab manusia selalu butuh "kelebihan" dengan kondisi yang pasti akan berbeda-beda di setiap harinya.

Kesiapan akan terbentuk apabila kita memulainya dari sekarang, sehingga apa yang akan kita hadapi ke depan setidaknya bisa kita lewati dengan segala hal yang sebelumnya sudah dipelajari dan dipahami. 

Ya, begitulah manusia. Menunggu "siap" takkan pernah ada habisnya. Karena sejatinya kesiapan juga proses belajar, bukan sebuah akhir atau hasil. 

Jadi, sudah siapkah kita menerima takdir setelah ini?

Kurasa belum, atau bahkan tidak akan pernah siap. Tetapi, keberanian, kegigihan, keikhlasan, dan kesabaran akan membuat kesiapan itu hadir.

Semangat, bagi kita yang sedang menyiapkan bekal-bekal menyambut kebaikan.


Menjalani hidup di usia dewasa adalah memikirkan beribu cara untuk diterima oleh semua pihak. Sebab, tidak ada yang jauh lebih penting daripada kebersamaan dengan orang tersayang. Jadi, ketika hal itu belum didapatkan, orang-orang dewasa akan berusaha menuju ke sana. 

Nyatanya, hal itu tidak semudah dilakukannya. Katanya, kesederhanaan saja mampu untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Yang terlalu sederhana justru kalah dengan hal-hal yang lebih luar biasa. Namun, seperti yang kita tahu, biasa dan tidak biasa adalah hal yang tidak ada tolok ukurnya. Semua orang pasti punya pandangan berbeda. 

Terkadang, orang dewasa melakukan sesuatu hanya untuk menyeimbangkan harapannya, agar di suatu hari nanti ia mendapatkan hal yang setidaknya setimpal dengan apa yang dia lakukan sebelumnya. Misalnya, seseorang membelikan seporsi nasi goreng untuk seseorang yang kelaparan, dengan harapan jika suatu saat nanti ia kelaparan, setidaknya ada seseorang yang juga memberikan seporsi nasi goreng untuknya makan. Sesimpel itu. 

Namun, nyatanya gak semua hal seperti apa yang dibayangkan. Mungkin saja balasan dari sebuah kebaikan itu tidak akan sama, bahkan seringnya begitu—atau bahkan kita tidak menemukan balasannya saat itu juga. Bisa saja saat kita kelaparan, ada seseorang yang juga memberi makan, tetapi bukan nasi goreng, ia memberikannya nasi hanya dengan ikan asin. Jauh di luar ekspektasi bukan?

Bahkan, bisa jadi tak ada seorang pun yang peduli kita sudah makan atau belum? Karena tidak sedikit orang yang mengurusi dirinya sendiri dan tidak peduli sama kehidupan orang lain. Ya, kehidupan ternyata sekejam itu. Ekspektasi nyatanya hanyalah sebuah musuh terselubung yang sering mengikuti seseorang, terlebih orang dewasa. 

Saat kita membutuhkan waktu seseorang, orang lain belum tentu menghabiskan waktunya untuk kita. Jangankan dihabiskan, diluangkan saja belum tentu. Masing-masing pasti punya prioritas, dan kita belum tentu di antaranya. Lalu, apakah kita bisa meminta lebih? Apakah kita punya hak itu?

Sejatinya, kita punya waktu masing-masing. Itu artinya, kita berhak membagi waktu kita pada apapun prioritasnya. Tapi, lagi-lagi kita harus ingat, tidak semua orang itu sama seperti apa yang ada di pikiran kita. Jadi, berharap pada manusia hanya akan membuka sebuah luka baru. 

Sama halnya ketika kita mencintai seseorang, yang nyatanya punya segala hal lebih daripada kita; keluarga yang kaya, keturunan yang baik, pendidikan yang tinggi, bergaya lebih modis, dan segala yang jauh berbeda dengan kita yang sederhana, apa adanya, pun pendidikan di keluarga tidak setinggi keluarganya. Mungkin di satu sisi kita akan berharap ada sebuah konsep penerimaan yang terjadi, tetapi kita kadang lupa bahwa ada kemungkinan lain, yaitu ketidakcocokkan dan penolakan.

Lagi-lagi, ini sebuah konsep penerimaan yang bukan kita sebagai kendalinya. Kita tidak bisa meminta lebih pada orang lain agar bisa menerima kita. 
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk memberi waktunya.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk menjadi apa yang kita pikirkan.

Tidak bisa. Manusia tidak kuasa atas manusia yang lain.

Kuasa kita hanya pada diri kita sendiri. Kita punya ego masing-masing yang tidak bisa disamaratakan. 

Untuk itu, kalau lagi benar-benar merasa sendiri, lakukankan hal baik di dalam kesendirian itu. Banyak-banyak bersyukur karena itu artinya kesendirian menjadi bagian dari proses kedewasaan. Biarlah orang bertebaran pergi satu per satu. Tapi, kamu punya dirimu sendiri yang bisa memahamimu.

Tahanlah ego diri, pahamilah ego orang lain. Jangan bersedih hanya karena belum mendapatkan peneriman itu. Ini sebuah hal wajar yang harus kita hadapi.

Percayalah, akan ada waktunya ada orang yang mau menerima kesederhanaan kamu, mau meluangkan waktunya untukmu, mau memberikan perhatiannya untukmu, menghabiskan waktu denganmu, dan menerima apa adanya kamu—meskipun mungkin banyak keberagaman antara kamu dan orang itu. 

Kamu hanya belum menemukannya, bukan tidak memilikinya.

Sebuah karya nyata dalam menuangkan emosi, isi hati, dan juga pikiran adalah dengan menulis. Entah dalam bentuk tulisan seperti apa, yang jelas menulis bisa menjadi jalan keluar dalam kekalutan yang terjadi dalam diri. 

Sebagai pencinta menulis, aku menjadi salah satunya yang menjadikan tulisan sebagai media self healing. Mungkin banyak yang menyukai sajak dan puisi atau sekadar memo untuk menuangkannya. Aku pun sesekali menulisnya. Fiksi adalah jalan untuk menuangkan imajinasi yang muncul seketika.

Gak ada batasan dalam berfiksi. Kita bebas mengarang cerita sesuka hati dan sesuai keinginan hati. Kita bisa menciptakan tokoh yang kita suka, gerak pohon yang kita atur, dan suasana yang kita bangun. Fiksi begitu menyenangkan bila didalami. Lebih dari sekadar untaian huruf dan kata-kata yang beraturan. 

Menulis fiksi membuatku bisa berinteraksi pada tokoh yang kubuat sendiri. Rasanya sangat menyenangkan ketika menghadirkan tokoh impian pada sebuah tulisan. Meski hanya bayang-bayang, rasanya seperti kenyataan. Berinteraksi pada sang fiksi memang kadang memabukkan. 

Aku seringkali menciptakan tokoh-tokoh relatable yang mungkin saja ada di alam bawah sadarku. Seakan-akan tokoh itulah yang aku butuhkan di saat ide bermunculan. Ya, fiksi adalah cerminan hati dan pikiran. Maka jangan salahkan jika banyak kesamaan pada realistisnya. 

Sudah lama sekali rasanya tidak berfiksi dengan beralur panjang, a.k.a jarang lagi nulis cerita dan novel. Sekarang lagi bertarung dengan serangkaian tulisan nonfiksi yang semakin hari terus kupelajari. Rumitnya minta ampun. Tapi, nonfiksi adalah ruang belajar sekaligus berekspresi. Bukan hanya sebuah bayangan ilusi, tetapi ilmu yang bermunculan pun kerap membuntuti.

Kadangkala, hal itu dirindukanku. Rindu pada sosok-sosok yang menemaniku menulis, menghiasai pikiranku, dan merasa tokoh itu nyata dan sedang melihatku menulis untuknya. Apa kalian pernah segila itu mencintai tokoh khayalanmu?

Entahlah, nyatanya hampir semua yang menulis bisa terhanyut pada fiksi buatannya. 

Belum pernah coba?

Cobain, deh. Menyenangkan sekali. Aku yakin suatu saat bakal ketagihan punya teman fiksi. 

Tenang, ini bukan bentul kegilaan. Hanya saja sebuah rasa menyenangkan dan sebuah apresiasi kepada si penulis tulisan (diriki sendiri)

Selamat berkhayal. 


Entah mengapa, rasanya aku bukan dilahirkan untuk bisa "sendirian". Padahal pada dasarnya, semua manusia terlahir sendiri dan akan mati sendirian. Entahlah, mungkin ini salah satu bentuk kekurangan atau bahkan sebuah kelebihan yang belum aku ketahui sisi baiknya di mana. 

Aku kadang heran sama orang-orang yang bisa mengambil "me time". Mereka bisa jalan-jalan sendirian, nonton bioskop sendirian, ke toko buku sendirian, pokoknya punya cara untuk menyendiri sebagaimana cara yang mereka miliki masing-masing. 

Melihat hal itu, rasanya perlu untuk mencoba. Kayaknya seru ya bisa menghabiskan waktu sendirian dan bisa terlihat mandiri. Nah, hari ini ceritanya aku mencoba seperti apa yang orang lakukan. Belum lagi, ada beberapa tugas yang perlu aku selesaikan dan ceritanya gak konsen kalau dikerjain di rumah. Maklum, lagi ada ponakan. Nanti fokusku terganggu hehe. Yaudah deh, ceritanya aku berangkat ke Mcd buat nyobain "me time". 

Aku berangkat sama mama ke depan perumahan karena mama juga mau badminton ke perumahan sebelah. Ya, mama emang rutin olahraga dua kali seminggu. Kemudian, aku naik angkot 32 jurusan Mcd yang aku tuju. Huah, udah lama banget gak naik angkot semenjak pandemi. Ngeri-ngeri sedap. Dan agak kesel juga yaaa angkot masih suka ngetem dan lama. Sebel.

Sesampainya di Mcd, aku langsung pesan makanan dan cari tempat dekat colokan. Ya, aku bawa laptop sebagaimana tujuanku untuk menyelesaikan sebagian tugas yang lumayan urgent. Baiklah, sejak aku duduk aku mulai menekadkan diri untuk fokus supaya tugasku selesai. 

Entahlah, baru beberapa jam saja aku merasa kesepian di tengah-tengah ruangan yang padahal cukup ramai. Saat itu aku mulai tidak fokus dan merasa tidak nyaman. Rasanya butuh teman ngobrol biar gak ngantuk. Terus, ceritanya aku sengaja membuat status di Whatsapp agar ada orang yang sekiranya mau datang dan menemaniku di sini. Huhu. 

Awalnya sahabatku di SMP ada yang ingin menyusul ke tempatku, eh... Qadarullah, motornya gak bisa nyala. Jadi, dia gak jadi nemenin aku. Selebihnya, banyak laki-laki buaya yang bales sok-sokan pengen nemenin wkwk. Ya... jelas aku gak mau. Gak tau kenapa, ditemani sama laki-laki yang gak aku kenal agaknya kurang mengasyikkan. Aku bukan tipe orang yang berani kayak gitu. Gak tau ya, sama laki-laki tuh canggung banget. Sama yang dikenal aja (yang jelas-jelas gak ada keterkaitan rasa atau apapun) itu rasanya khawatir gitu. Nah, apalagi sama yang kenal doang dan emang gak deket gitu. 

Yaudah deh, alhasil aku sendirian lagi. Dan semakin lama aku makin bosan saat itu. Tugas juga mulai gak fokus dikerjain. Yaudah deh, akhirnya aku putuskan untuk pulang aja. Padahal masih banyak banget hal yang mau aku lakuin di Mcd. Ngobrol sama orang, makan eskrim, atau sekadar makan kentang goreng yang tak kupesan tadi pagi. 

Kemudian, aku pulang. Ternyata aku sepayah itu melakukan me time. Tapi, di satu sisi aku menyadari bahwa ternyata "everyday is me time". Ya, setiap hari memang waktu kita untuk me time. Sebab, ternyata kita gak bisa terus-terusan berharap sama orang lain. Ketika orang lain gak sesuai sama ekspektasi kita, kitanya yang kecewa, kesel, dan marah. Padahal, mereka yang kita harapkan gak pernah salah. 

Dari hari ini juga aku belajar, bahwa kita gak bisa menyamaratakan bentuk self healing dan cara me time seseorang. Mungkin dengan menyendiri, orang lain bisa menurunkan kekesalan dalam dirinya, menghilangkan stressnya, dan mengurangi bosannya. Tapi, mungkin juga dengan me time orang lain bisa semakin stress karena makin merasa sendirian dan ketakutan. Dan sepertinya aku termasuk tipe yang kedua. Hahaha.

Aku suka suasana sepi, tapi gak tau kenapa aku gak suka merasa kesepian. Aku lebih memilih untuk sendirian di tempat yang memang hanya ada aku, daripada aku sendirian di tempat keramaian. Aku benar-benar merasa asing dan ketakutan. Entahlah, aku juga gak ngerti kenapa gitu. Hahaha. Hasil me time tadi, aku cuma bisa bertahan selama 4 jam, menjadi penyendiri di tengah keramaian. Wkwkwk. Udah kayak lagu Juicy Luicy, "Kembali kesepian, dalam ruang ramai kudiam. Lalu, kembali, kembali, kembali kesepian~" 

(Btw, dengerin deh lagunya enak wkwk)

Ya gitu deh cerita hari ini. Aku gak tau bakal nyoba me time lagi apa engga. Tapi kayaknya lebih seru ada temennya deh. Ternyata bentuk me time seseorang beda-beda, gak bisa disamain. Ketika aku coba cara orang lain, ternyata gak cocok sama aku. Ramai bukan sahabatku:( aku sukanya tempat sepi dan tenang.

Kalau kalian, bagaimana cara self healing dan me time versi kalian? Apakah ada yang sama kayak aku?

Atau cuma aku ya yang aneh kayak gini? Hahaha.


Pernah gak sih, kalian ngerasa butuh banget sama teman lawan jenis. Kayaknya kalau kita temenan sama mereka tuh lebih asyik, lebih bisa saling ngerti, dan kalau minta solusi selalu ada pendapat lain karena kita punya cara pikir yang berbeda. Pasti beberapa di antara kalian juga merasakannya. 

Tapi, pertanyaannya, apakah di antara pertemanan laki-laki dan perempuan selalu berakhir karena "perasaan"?

Awalnya, aku gak tau jawaban dari pertanyaan ini. Jadi  yaudah aku berteman sama laki-laki pun gak masalah. Toh dari kecil juga aku emang terbiasa gitu main sama laki-laki dan berteman sama laki-laki. Tapi, entah ya, semakin dewasa kok rasanya jadi beda?

Gak tau kenapa, setiap kita punya perasaan yang pure untuk berteman, orang tersebut malah menganggapnya hal lain. Ini sering banget kejadian. Misalnya, berperilaku dikit dibilangnya perhatian, muji dikit dikiranya suka, yaa.. semacam itulah. Entah itu karena salah si perempuannya yang terlalu berlebihan atau si laki-laki yang memang baperan? Atau kebalikannya?

Semakin lama aku semakin sadar, ternyata ya memang begitu kodrat laki-laki dan perempuan. Pertama, mereka memang saling ketergantungan. Itulah mengapa Allah menciptakan rasa slaing membutuhkan dan rasa ketertarikan antarkeduanya, meskipun suka beda pemahaman: yang satu tertarik karena enak diajak berteman, yang satu tertarik untuk menjadi pasangan.

Kedua, kodrat laki-laki dan perempuan itu emang berbeda. Ketika laki-laki cuma balas pake logika, perempuan balas pake rasa. Ketika laki-laki cuma balas lewat jari, perempuan ngiranya pakai hati. Atau kebalikannya. Ya, kalaupun ada yang benar-benar saling menerima sebagai teman, itu gak banyak. 

Ketiga, mungkin inilah kenapa Allah melarang laki-laki dan perempuan punya hubungan yang dekat (di luar hubungan pernikahan), ya sebab akan ada bermacam risiko yahg kita dapat, salah satunya risiko-risiko baper tadi yang menyebabkan ketidaknyaman dalam pertemanan. Bener gak sih?

Entah ya, semakin lama aku semakin tidak percaya sama pertemanan laki-laki dan perempuan. Awalnya sih aku ya fine-fine aja, toh aku gak baperan kok. Aku juga gak gampang terhasut kalau digombalin, dibecandain, dibaikin, dsb. Tapi, kadang ketika kita yang sudah komitmen sama diri kita sendiri, ehh... lawan bicaranya yang gak sedemikian. Ribet kan urusannya. 

Ada satu kasus di mana aku ya terbuka aja gitu berteman sama siapa aja. Aku juga orangnya berusaha ramah aja gitu, gak mandang siapapun. Nyapa, senyum, tegur. Toh itu kan sebagian bentuk ibadah terkecil. Tapi, sayangnya hal itu malah jadi "bahan"" seseorang untuk tertarik sama kita. Tiba-tiba pas udah lama kenal, mulai kode-kode gak jelas, atau tiba-tiba baiknya berlebihan, dsb. 

Sebenarnya kebaikan gak ada salahnya dilakukan. Tapi akan jadi salah ketika semuanya dilakukan karena ada "maksudnya". Apalagi karena ada perasaan. Ya, bukannya mau nolak atau gimana. Cuma, coba pikir aja deh. Ketika kita udah sama-sama ngerasa cocok dalam berteman, terus tiba-tiba berubah karena perasaan suka? secara gak langsung sikap seseorang itu pasti akan beda, dan itu cepat atau lambat pasti terbaca.

Kalau aku sendiri tipenya emang suka baca gerak gerik dan bahasa orang. Jadi, ketika ada yang aneh rasanya aku sudah paham ada yang berbeda. Dan jujur, beberapa di antaranya membuat hubungan pertemanan menjadi tidak nyaman. Ya begitulah, dari situ kita bisa menilai kedewasaan seseorang dalam me-manage perasaannya sendiri.

Sejak banyak kasus serupa terjadi, rasanya aku gak percaya lagi tentang pertemanan lawan jenis. Ya, salah satunya pasti ada yang menyimpan rasa pada akhirnya. Sebenarnya balik lagi ke masalah cinta. Cinta itu gak ada yang salah. Gak bisa ditentang juga. Tapi, alangkah baiknya mungkin rasa itu bisa dikendalilan dengan baik, sehingga tau nih apa yang harus kita perbuat dari perasaan yang kita punya. 

Aku sendiri mungkin masih punya kekhawatiran terhadap teman-teman laki-laki. Siapa tau diantaranya aku memiliki rasa sama salah seorang. Tapi, balik lagi. Aku selalu berusaha untuk memaklumi diri sendiri, aku juga selalu berusaha untuk mengendalikan perasaan itu agar tersimpan dengan baik. Aku juga masih belajar akan hal itu supaya masih dalam koridornya.

Toh, lebih baik memendam lebih lama daripada harus bergegas tapi sia-sia. Iya kan? Sabar aja, jodoh gak akan ke mana. Daripada ngelakuin ini itu tapi teman kitanya jadi gak nyaman, kan jadi gaenak juga.

Jadi, yaaa.. gitu deh hehe. Intinya ini cuma opini seorang Aca tentang hubungan pertemanan lawan jenis. Jadi, pasti ada banyak perbedaan antata aku dan kamu dalam memandang hal ini. Menurutku pertemanan ini rasanya tidak mungkin untuk "baik-baik saja". Jadi, saranku tetap bertemanlah, tapi berilah koridor agar kita tetap pada jalannya. Belajar untuk tidak berlebihan dan belajar untuk saling menjaga dan mengendalikan perasaan masing-masing.

Semangat, pertemanan kita tidak salah, kok. Mungkin caranya aja yang bikin kita kurang nyaman. Yuk kita tilik lagi, sudah sejauh mana pertemanan kita sama si dia?🙂 

#MenebarCahaya
Newer Posts Older Posts Home

Hai, kenalan yuk!

Namaku Nurnafisah, kamu boleh panggil aku Aca. Di Blog inilah aku berbagi cerita. Jangan lupa tinggalkan komentarmu, ya!

Mari kita berteman~

Pengunjung

Isi Blogku~

  • ▼  2024 (15)
    • ▼  December (1)
      • Life Update Setelah Menghilang
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  February (2)
    • ►  January (7)
  • ►  2023 (30)
    • ►  December (3)
    • ►  November (5)
    • ►  October (1)
    • ►  August (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (1)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2022 (25)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2021 (52)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (2)
    • ►  February (5)
    • ►  January (9)
  • ►  2020 (71)
    • ►  December (3)
    • ►  November (8)
    • ►  October (6)
    • ►  September (6)
    • ►  August (3)
    • ►  July (7)
    • ►  June (11)
    • ►  May (6)
    • ►  April (6)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (5)
  • ►  2019 (69)
    • ►  December (5)
    • ►  November (8)
    • ►  October (4)
    • ►  September (4)
    • ►  August (7)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (4)
    • ►  April (7)
    • ►  March (8)
    • ►  February (9)
    • ►  January (5)
  • ►  2018 (36)
    • ►  December (9)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  July (5)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (25)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (4)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  September (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2014 (20)
    • ►  December (4)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (2)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2013 (8)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2012 (92)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (10)
    • ►  June (10)
    • ►  May (31)
    • ►  April (27)
    • ►  March (4)
  • ►  2011 (7)
    • ►  November (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)

SINIAR TEMAN CAHAYA

Followers

Postingan Populer

  • Semoga Allah Balas Usahamu
    Hai, Ca. Gimana kabarnya? Beberapa waktu lalu aku lihat kamu lagi kebanjiran, ya? Bukan, bukan kena bencana. Tapi, kebanjiran di...
  • Teruntuk Laki-Laki yang Sudah Dimiliki
    Tulisan kali ini cukup bar-bar, karena aku sengaja menulisnya untuk  para laki-laki di luar sana yang sudah memiliki tambatan hati. Anggapla...
  • Life Update Setelah Menghilang
    Hai, blogger. Rinduuuu teramat rindu nulis di sini. Rasanya belakangan ini terlalu banyak hal yang terjadi, sampai-sampai tidak sempat menul...
  • Semenjak Hari Itu...
    Semenjak hari itu, kehidupanku berubah drastis. Senyumku yang semula itu telah kehilangan rasa manis. Mencoba terus terlihat baik-baik saja ...
  • Selamat, untukmu.
    Sesuai judulnya, selamat. Selamat atas ilmu yang sudah ditempuh, selamat atas jerih payah mencapai cita-cita, selamat atas usaha...

Categories

Artikel 7 Ber-Seri 13 Berseri 1 Cahaya 15 ceirtaku 1 Ceritaku 249 Cerpen 5 Cinta 71 Feature 3 Hidup 18 Inspirasi 39 Inspiratif 15 Islam 65 Karya 16 Kebaikan Berbagi 6 Keluarga 44 Kisah 40 Kisahku 21 Liburan 10 Menulis 5 Motivasi 114 Resep 1 Sajak 55 Suratan Fiksi 26 Teman 55 Tips 3 Tips dan Informasi 31 Zakat 2

Subscribe this Blog

Name

Email *

Message *

Music

Pair Piano · 놀러오세요 동물의 숲 (Animal Crossing) Piano Compilation

nurnafisahh

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates