Nurnafisah's Blog

This is my e-dairy of #MenebarCahaya

  • Home
  • Tentang Aku
  • Tips & Info
  • Sajak
  • Kontak


Kemarin, rasanya masih seperti mimpi
Sesosok tokoh fiksi datang menghampiri
Berkelut dengan waktu dan mendatangiku untuk tidak bermain hati
Tak kusangka...
Benar-benar rencana-Nya tersusun rapi tanpa kuketahui

Hari demi hari..
Perwatakan mulai kupelajari
Sorot mata yang semakin kudalami
Tingkah dan ucapannya pun aku selami

Tiba-tiba, aku teringat pada sang tokoh fiksi
Yang beberapa waktu lalu menghiasi halaman novel di bagian yang hampir kuhabisi
Ada hal di antaranya tergambar pada tokoh ini

Aku dibuat kagum dengan-Nya,
Sang Perencana yang tak tertandingi

Tak hanya lembar demi lembar buku aku baca lagi,
Tetapi sesekali kubuka juga lembar kehidupannya di setiap hari
Semakin kuselami, semakin kupahami
Ternyata fiksi akan selalu menjadi fiksi
Ternyata mimpi tetaplah menjadi mimpi

Fiksi hanyalah imajinasi
Dan pertemuan dengan sang tokoh hanyalah sebuah mimpi yang tak bisa lagi digali
Meski kesempatan tak pernah datang dua kali,
Tapi, tak perlulah aku menyesali

Sebab, dari fiksi aku belajar bahwa semua bisa datang hanya karena kebetulan dan saling memberi pelajaran untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi



Rumah berpilar berwarna putih itu sudah terlalu sepi selama kurang lebih lima tahun. Papa dan Mama yang bekerja setiap hari sering menghabiskan waktu di luar rumah. Sementara Fatia hanya menghabiskan waktunya untuk sekolah dan bermain di rumah. Sesekali ia ajak teman-temannya untuk berkunjung dan menghabiskan waktu bersama.

Fatia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakak kandungnya merantau di Pulau Dewata untuk menimba ilmu di universitas pilihannya. Tapi, hari itu adalah hari pertama ia kembali ke rumah. Dengan perasaan bahagia, Fatia turut membantu kepulangan kakaknya itu.

“Assalamu’alaikum, Fatia,” salam Audri dari balik telepon.

“Wa’alaikumussalam, kak Audri. Kakak pulang kapan?” tanya Fatia.

“Ini kakak sudah di bandara, lagi menunggu pesawat. Tolong bilang ke Pak Wisnu jemput aku di bandara jam 5 ya,” ujar Audri.

“Oke, kakak. Fatia boleh ikut?” tanya Fatia.

“Boleh dong, kakak juga bawa oleh-oleh nih untukmu,” kata Audri.

“Wah, asyik! Baiklah, aku siap-siap dulu deh, kak. Kakak hati-hati di jalan ya, jangan lupa berdoa,” pesan Fatia kepada Audri.

“Iya, makasih banyak ya, Fat. Ya sudah, jangan lupa bilang ke Pak Wisnu ya. Assalamu’alaikum,” kata Audri.

“Waalaikumussalam,” jawab Fatia, lalu telepon ditutup.

Fatia segera memberitahu Pak Wisnu. Ia meminta sopirnya itu untuk menyiapkan mobil dan menjemput Audri di bandara. Fatia pun menyiapkan diri untuk bertemu dengan kakak yang usianya berbeda 13 tahun itu. Ia sangat rindu dengan kakaknya yang dulu setiap hari mengajarinya membantu pekerjaan rumah (PR).

Pintu garasi sudah dibuka. Pak Wisnu segera mengeluarkan mobil berwarna putih yang biasa digunakan untuk mengantar Fatia sekolah. Fatia pun sudah siap menjemput sang kakak. Lalu mereka pergi menuju bandara.

“Mama Papa sudah diberitahu, non?” tanya Pak Wisnu dalam perjalanan.

“Sudah, tapi mereka gak bisa jemput, pulang malam katanya,” kata gadis berjilbab merah kala itu.

“Baiklah,” jawab Pak Wisnu singkat.

Pak Wisnu kembali fokus menyetir, sementara Fatia asyik dengan buku bacaannya diiringi dengan lagu-lagu yang diputar di mobil. Fatia memang terlihat akrab dengan Pak Wisnu dan juga Mpok Leha, asisten rumah tangganya. Semenjak orang tua Fatia sibuk bekerja, Fatia lebih sering diasuh oleh Pak Wisnu dan Mpok Leha yang 24 jam selalu menemaninya.

Tak lama sampailah di bandara yang dituju. Dari kejauhan sudah terlihat Audri dengan baju biru beserta koper dan barang-barangnya. Fatia turun dari mobil dan segera memeluk erat kakaknya yang jarang pulang itu. Audri pun menangis haru karena celengan rindu pada adiknya sudah pecah. Kini saatnya kembali ke rumah untuk kembali bersama-sama.

“Dek, kamu kok jadi kurus gini?” tanya Audri dalam perjalanan menuju rumah.

“Masa sih kak?” tanya Fatia bingung.

“Iya, makannya susah ya kamu?” tanya Audri.

“Iya tuh non, bekalnya tidak pernah habis kalau di sekolah,” saut Pak Wisnu.

“Ih, Pak Wisnu. Jangan kasih tau kakak dong,” kata Fatia, lalu menekuk wajahnya.

“Hayo, kamu ini jangan susah makan. Kakak aja kemarin nge-kost udah susah makannya. Kamu nih selagi masih kecil, manfaatin segala hal yang enak-enak di rumah,” jelas Audri.

“Emang iya kak?” tanya gadis 10 tahun itu.

“Iya, nanti kamu tau sendiri rasanya. Nanti kakak ceritain deh pengalaman kakak selama jauh dari rumah,” kata Audri.

“Oke deh, aku tunggu cerita kakak,” kata Fatia.

Waktu itu, katanya, mama dan papa hanya ingin memiliki satu anak. Qadarullah, Allah memberikan satu anak lagi untuk menemani hidup Audri. Lahirlah Fatia setelah Audri berusia 13 tahun. Sejak saat itulah Audri merasa ada saudaranya yang selalu menemani dia di rumah. Itulah mengapa Audri sangat menyayangi Fatia sebagai adik dan juga sahabat seumur hidupnya.

Tak terasa, mereka sudah sampai di rumah. Mobil segera masuk garasi dan menurunkan barang-barang bawaan Audri. Mulai dari koper merahnya yang besar, beberapa kardus yang berisi barang-barang sisa ngekost, dan ada pula tas yang berisi makanan dan oleh-oleh dari Bali.

Pak Wisnu dan Mpok Leha mengangkat barang satu per satu ke dalam rumah. Audri juga tak hanya diam, ia membawa sebagian barang-barangnya itu untuk dibawa ke kamar. Sementara Fatia pun ikut membantu membawa barang-barang yang ringan untuk dibawa ke dalam rumah.

Setelah semua barang selesai ditaruh di dalam, saatnya Audri merapikan barang-barangnya di kamar. Dengan wajah iba, Fatia pun turut membantu karena ia tahu bahwa kakaknya pasti sangat lelah setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali menuju rumah.

“Sini kak, Fatia bantu ya,” jawab gadis kecil berlesung pipi itu.

“Aduuh, adiknya kakak nih baik banget sih,” kata Audri sambil mencubit pipi Fatia.

“Iya, kakak pasti lelah. Ya sudah, aku bantu beresin buku-buku ya,” kata Fatia.

“Baiklah, kalau begitu kakak beresin baju-baju ya,” kata Audri membagi tugas.

Kemudian mereka sibuk beres-beres. Tiba-tiba, Fatia menemukan beberapa buku yang menurutnya belum pernah dilihat sebelumnya.

“Kak, ini buku apa?” tanya Fatia sambil mengangkan satu buku bergembok kecil itu.

“Oh, Itu buku diary kakak,” jawab Audri.

“Buku diary? Satu, dua, tiga, empat… Ada lima?” tanya Fatia sambil menghitung heran.

“Iya, buku yang merah, kuning, hijau, biru, ungu. Itu semua buku diary kakak,” jelas Audri pada adiknya itu.

“Loh, sejak kapan kakak suka menulis diary? Terus kok harus banyak banget gitu, emangnya satu gak cukup?” tanya Fatia dengan polos.

“Sejak kecil, bahkan sebelum kamu lahir kakak udah suka nulis-nulis diary,” jelas Audri sambil merapikan baju-baju ke dalam lemari.

“Sejak kecil? Buat apa kecil-kecil sudah menulis diary?” tanya Fatia penasaran.

“Kamu tau dek? Diary itu bisa menerima semua cerita-cerita kita tanpa terkecuali. Yaa meskipun kalau ada masalah dia gak bisa kasih solusi. Tapi kakak rasa menulis diary itu bisa mengutarakan segala emosi kakak. Mulai dari rasa sedih, senang, suka, duka, dan lain-lain,” jelas Audri pada Fatia.

“Terus, kenapa harus sejak kecil?” tanya Fatia.

“Semakin lama kita banyak berlatih menulis, semakin bagus juga kemampuan menulis kita. Jadi, kakak mulai biasakan sedari kecil untuk bisa menulis dari hal-hal paling sederhana, seperti menulis di diary,” kata Audri.

“Emang apa yang kakak tulis di sini?” tanya adiknya itu sambil menunjuk diary berwarna kuningnya.

“Banyak hal. Mulai dari masalah yang kakak hadapi, masalah pertemanan, rencana beberapa hari ke depan, agenda yang minggu ini kakak lakukan, dll,” ujar Audri.

“Ohh begitu, seru emang ya kak nulis begitu-begitu?” tanya Fatia yang cempreng itu.

“Seru dong. Kita bisa berekspresi lebih banyak di diary ini. Oiya, kamu tau gak, menulis diary juga bisa mengasah kedisiplinan kita loh,” kata Audri.

“Ohh ya? Masa sih?” tanya Fatia.

“Iya, beneran. Kamu bisa konsisten menulis, mengatur jadwal kegiatanmu sehari-hari, emosimu juga tertuang dan menghindari kamu dari stres pastinya,” kata Audri.

“Wah, aku jadi tertarik untuk punya diary,” kata Fatia.

“Benarkah? Kalau begitu, simpanlah diary-diary milik kakak ini sebagai motivasimu, taruh di kamarmu tapi jangan dibaca ya, simpan dulu. Sekarang kakak kasih kamu buku warna pink ini untuk kamu tulis segala curahan hati kamu. Setelah itu, nanti kita akan buat agenda untuk membaca diary kita sama-sama, gimana? Seru kan?” ajak Audri kepada adiknya.

“Ayok! Aku setuju, makasih yah kak, aku janji akan menulis buku ini sampai selesai,” jawab Fatia dengan tersenyum.

“Iya, sama-sama sayang,” jawab Audri lalu memeluk adiknya.

Hari demi hari sudah dilewati bersama. Audri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan Fatia masih sibuk dengan sekolahnya. Tapi kali ini, hari-hari Fatia sudah ditemani oleh tulisan-tulisan di diary-nya. Ia merasa diary-nya lah yang sudah mendengarkan segala ceritanya saat Audri belum pulang dari kantor. Ia sudah mulai terbiasa untuk rutin mengisi buku kecil berwarna merah muda itu.

Hingga suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Audri tinggal kembali di rumah, penyakit Fatia kambuh. Hidungnya berdarah dan tangannya mulai dingin. Wajahnya pucat pasi dan matanya mulai sembap. Pak Wisnu dan Mpok Leha yang menyaksikan itu langsung membawanya ke rumah sakit. Mama, papa, dan Audri langsung dihubungi untuk segera menyusul.

Qadarullah, itulah hari terakhir Fatia tinggal di bumi. Penyakit kanker yang dideritanya sudah menggerogoti tubuh Fatia selama kurang lebih 7 tahun. Audri yang saat itu sangat terpukul, menangis tersengut-sengut. Ia merasa belum membahagiakan adik satu-satunya itu. Terlebih ia sudah meninggalkan adiknya sendirian di rumah selama ia kuliah. Audri benar-benar merasa bersalah.

Segala rangkaian pemakaman sudah dilakukan. Saatnya kembali ke rumah dengan keadaan baru dan suasana yang baru, hidup tanpa gadis kecil yang ceria di rumah itu. Mama dan Papa juga sangat menyesal sudah sering menghabiskan waktu di luar dan jarang menemani Fatia di rumah. Setelah kepergiannya, mereka baru menyadari bahwa mereka sangat menyayangi Fatia.

------------------------------------------------------  
“Dear diary. Ini hari pertamaku menulis di diary. Buku ini pemberian dari kakakku yang baru saja pulang dari Bali. Aku sangat senang, akhirnya ada yang menemani aku lagi di rumah. Dia bisa membantuku mengerjakan PR-PR lagi. Terima kasih ya Allah, sudah memberikan aku kakak terbaik yang pernah hadir di bumi. Fatia sangat sayang kak Audri, Mama dan juga Papa. Sesibuk apapun mereka, Fatia tetap sayang. Semoga kesibukan mereka selalu berada di jalan-Mu ya Allah. Aamiin. Ttd, Fatia.”

Audri membaca tulisan-tulisan di buku diary milik adiknya itu. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia memeluk diary itu erat-erat dan turut mendoakan kepergian adik hebatnya itu, Audri berjanji untuk melanjutkan isi diary milik Fatia yang belum selesai di tulis. Karena Fatia pernah berjanji untuk mengisi bukunya tanpa halaman tersisa. Audri terdiam, lalu tertidur di kamar adiknya itu. “Dik, jadi kapan kita bisa membaca buku diary kita sama-sama?” batin Audri sebelum tidur.


Dalam hidup ini, mungkin kita telah banyak menemukan pertanyaan-pertanyaan dari orang lain tentang sebuah kesiapan.

Mungkin ada yang pernah bertanya, bagaimana kita bisa siap menghadapi cobaan yang terjadi pada cerita hidupnya? Sementara, cobaan yang datang juga bukan suatu hal yang pernah diduga apalagi direncana. Kita mungkin bisa menjawab bahwa kita tidak pernah siap akan itu semua. 

Mungkin ada juga yang pernah bertanya, bagaimana bisa kita merasa siap saat akan menghadapi ujian? Merasa sudah hebat, siap, dan tenang akan hasil. Sementara yang sudah belajar dari jauh-jauh hari saja nilainya masih kalah sama orang-orang yang lebih pemalas daripada kita. 

Mungkin ada juga yang pernah bertanya, bagaimana bisa dengan usia yang masih muda telah siap menjalani bahtera rumah tangga? Sementara, banyak sekali pernikahan di usia yang sudah tua akhirnya berhenti di tengah jalan, padahal dahulu pernah menyatakan sebuah kesiapan. 

Mungkin ada juga yang pernah bertanya, bagaimana bisa kita menerima takdir kehilangan atas seseorang?sementara, hati merasa benar-benar sakit ketika mendengar kabar sepeninggal orang tersayang. Apakah tangis yang terurai adalah bentuk dari sebuah kesiapan?

Bagaimana bisa sebuah kesiapan mengkhianati hati-hati manusia itu?

Sejatinya, jika kita bicara tentang kesiapan, manusia tidak akan pernah siap. Seseorang pernah berkata padaku, bahwa orang-orang yang merasa sudah dewasa pun belum tentu "siap" dalam menjalankan apa yang akan terjadi di kehidupannya.

Kesiapan sangat tidak terikat dengan kedewasaan atau umur seseorang. Tua muda bukan satu alasan yang bisa mencerminkan sebuah kesiapan. Sebab, setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Sesiap apapun dirinya dan sesempurna apapun kesiapannya, pasti akan selalu ada yang kurang. Dan lambat laun kesiapan itu (serasa) memudar. 

Padahal, sejatinya memang manusia yang tidak pernah puas. Kesiapan bukanlah target paling ujung dari setiap perjalanan manusia, sebab manusia selalu butuh "kelebihan" dengan kondisi yang pasti akan berbeda-beda di setiap harinya.

Kesiapan akan terbentuk apabila kita memulainya dari sekarang, sehingga apa yang akan kita hadapi ke depan setidaknya bisa kita lewati dengan segala hal yang sebelumnya sudah dipelajari dan dipahami. 

Ya, begitulah manusia. Menunggu "siap" takkan pernah ada habisnya. Karena sejatinya kesiapan juga proses belajar, bukan sebuah akhir atau hasil. 

Jadi, sudah siapkah kita menerima takdir setelah ini?

Kurasa belum, atau bahkan tidak akan pernah siap. Tetapi, keberanian, kegigihan, keikhlasan, dan kesabaran akan membuat kesiapan itu hadir.

Semangat, bagi kita yang sedang menyiapkan bekal-bekal menyambut kebaikan.


Menjalani hidup di usia dewasa adalah memikirkan beribu cara untuk diterima oleh semua pihak. Sebab, tidak ada yang jauh lebih penting daripada kebersamaan dengan orang tersayang. Jadi, ketika hal itu belum didapatkan, orang-orang dewasa akan berusaha menuju ke sana. 

Nyatanya, hal itu tidak semudah dilakukannya. Katanya, kesederhanaan saja mampu untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Yang terlalu sederhana justru kalah dengan hal-hal yang lebih luar biasa. Namun, seperti yang kita tahu, biasa dan tidak biasa adalah hal yang tidak ada tolok ukurnya. Semua orang pasti punya pandangan berbeda. 

Terkadang, orang dewasa melakukan sesuatu hanya untuk menyeimbangkan harapannya, agar di suatu hari nanti ia mendapatkan hal yang setidaknya setimpal dengan apa yang dia lakukan sebelumnya. Misalnya, seseorang membelikan seporsi nasi goreng untuk seseorang yang kelaparan, dengan harapan jika suatu saat nanti ia kelaparan, setidaknya ada seseorang yang juga memberikan seporsi nasi goreng untuknya makan. Sesimpel itu. 

Namun, nyatanya gak semua hal seperti apa yang dibayangkan. Mungkin saja balasan dari sebuah kebaikan itu tidak akan sama, bahkan seringnya begitu—atau bahkan kita tidak menemukan balasannya saat itu juga. Bisa saja saat kita kelaparan, ada seseorang yang juga memberi makan, tetapi bukan nasi goreng, ia memberikannya nasi hanya dengan ikan asin. Jauh di luar ekspektasi bukan?

Bahkan, bisa jadi tak ada seorang pun yang peduli kita sudah makan atau belum? Karena tidak sedikit orang yang mengurusi dirinya sendiri dan tidak peduli sama kehidupan orang lain. Ya, kehidupan ternyata sekejam itu. Ekspektasi nyatanya hanyalah sebuah musuh terselubung yang sering mengikuti seseorang, terlebih orang dewasa. 

Saat kita membutuhkan waktu seseorang, orang lain belum tentu menghabiskan waktunya untuk kita. Jangankan dihabiskan, diluangkan saja belum tentu. Masing-masing pasti punya prioritas, dan kita belum tentu di antaranya. Lalu, apakah kita bisa meminta lebih? Apakah kita punya hak itu?

Sejatinya, kita punya waktu masing-masing. Itu artinya, kita berhak membagi waktu kita pada apapun prioritasnya. Tapi, lagi-lagi kita harus ingat, tidak semua orang itu sama seperti apa yang ada di pikiran kita. Jadi, berharap pada manusia hanya akan membuka sebuah luka baru. 

Sama halnya ketika kita mencintai seseorang, yang nyatanya punya segala hal lebih daripada kita; keluarga yang kaya, keturunan yang baik, pendidikan yang tinggi, bergaya lebih modis, dan segala yang jauh berbeda dengan kita yang sederhana, apa adanya, pun pendidikan di keluarga tidak setinggi keluarganya. Mungkin di satu sisi kita akan berharap ada sebuah konsep penerimaan yang terjadi, tetapi kita kadang lupa bahwa ada kemungkinan lain, yaitu ketidakcocokkan dan penolakan.

Lagi-lagi, ini sebuah konsep penerimaan yang bukan kita sebagai kendalinya. Kita tidak bisa meminta lebih pada orang lain agar bisa menerima kita. 
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk memberi waktunya.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Kita tidak bisa memaksa mereka untuk menjadi apa yang kita pikirkan.

Tidak bisa. Manusia tidak kuasa atas manusia yang lain.

Kuasa kita hanya pada diri kita sendiri. Kita punya ego masing-masing yang tidak bisa disamaratakan. 

Untuk itu, kalau lagi benar-benar merasa sendiri, lakukankan hal baik di dalam kesendirian itu. Banyak-banyak bersyukur karena itu artinya kesendirian menjadi bagian dari proses kedewasaan. Biarlah orang bertebaran pergi satu per satu. Tapi, kamu punya dirimu sendiri yang bisa memahamimu.

Tahanlah ego diri, pahamilah ego orang lain. Jangan bersedih hanya karena belum mendapatkan peneriman itu. Ini sebuah hal wajar yang harus kita hadapi.

Percayalah, akan ada waktunya ada orang yang mau menerima kesederhanaan kamu, mau meluangkan waktunya untukmu, mau memberikan perhatiannya untukmu, menghabiskan waktu denganmu, dan menerima apa adanya kamu—meskipun mungkin banyak keberagaman antara kamu dan orang itu. 

Kamu hanya belum menemukannya, bukan tidak memilikinya.

Sebuah karya nyata dalam menuangkan emosi, isi hati, dan juga pikiran adalah dengan menulis. Entah dalam bentuk tulisan seperti apa, yang jelas menulis bisa menjadi jalan keluar dalam kekalutan yang terjadi dalam diri. 

Sebagai pencinta menulis, aku menjadi salah satunya yang menjadikan tulisan sebagai media self healing. Mungkin banyak yang menyukai sajak dan puisi atau sekadar memo untuk menuangkannya. Aku pun sesekali menulisnya. Fiksi adalah jalan untuk menuangkan imajinasi yang muncul seketika.

Gak ada batasan dalam berfiksi. Kita bebas mengarang cerita sesuka hati dan sesuai keinginan hati. Kita bisa menciptakan tokoh yang kita suka, gerak pohon yang kita atur, dan suasana yang kita bangun. Fiksi begitu menyenangkan bila didalami. Lebih dari sekadar untaian huruf dan kata-kata yang beraturan. 

Menulis fiksi membuatku bisa berinteraksi pada tokoh yang kubuat sendiri. Rasanya sangat menyenangkan ketika menghadirkan tokoh impian pada sebuah tulisan. Meski hanya bayang-bayang, rasanya seperti kenyataan. Berinteraksi pada sang fiksi memang kadang memabukkan. 

Aku seringkali menciptakan tokoh-tokoh relatable yang mungkin saja ada di alam bawah sadarku. Seakan-akan tokoh itulah yang aku butuhkan di saat ide bermunculan. Ya, fiksi adalah cerminan hati dan pikiran. Maka jangan salahkan jika banyak kesamaan pada realistisnya. 

Sudah lama sekali rasanya tidak berfiksi dengan beralur panjang, a.k.a jarang lagi nulis cerita dan novel. Sekarang lagi bertarung dengan serangkaian tulisan nonfiksi yang semakin hari terus kupelajari. Rumitnya minta ampun. Tapi, nonfiksi adalah ruang belajar sekaligus berekspresi. Bukan hanya sebuah bayangan ilusi, tetapi ilmu yang bermunculan pun kerap membuntuti.

Kadangkala, hal itu dirindukanku. Rindu pada sosok-sosok yang menemaniku menulis, menghiasai pikiranku, dan merasa tokoh itu nyata dan sedang melihatku menulis untuknya. Apa kalian pernah segila itu mencintai tokoh khayalanmu?

Entahlah, nyatanya hampir semua yang menulis bisa terhanyut pada fiksi buatannya. 

Belum pernah coba?

Cobain, deh. Menyenangkan sekali. Aku yakin suatu saat bakal ketagihan punya teman fiksi. 

Tenang, ini bukan bentul kegilaan. Hanya saja sebuah rasa menyenangkan dan sebuah apresiasi kepada si penulis tulisan (diriki sendiri)

Selamat berkhayal. 
Newer Posts Older Posts Home

Hai, kenalan yuk!

Namaku Nurnafisah, kamu boleh panggil aku Aca. Di Blog inilah aku berbagi cerita. Jangan lupa tinggalkan komentarmu, ya!

Mari kita berteman~

Pengunjung

Isi Blogku~

  • ▼  2024 (15)
    • ▼  December (1)
      • Life Update Setelah Menghilang
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  February (2)
    • ►  January (7)
  • ►  2023 (30)
    • ►  December (3)
    • ►  November (5)
    • ►  October (1)
    • ►  August (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (1)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2022 (25)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2021 (52)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (2)
    • ►  February (5)
    • ►  January (9)
  • ►  2020 (71)
    • ►  December (3)
    • ►  November (8)
    • ►  October (6)
    • ►  September (6)
    • ►  August (3)
    • ►  July (7)
    • ►  June (11)
    • ►  May (6)
    • ►  April (6)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (5)
  • ►  2019 (69)
    • ►  December (5)
    • ►  November (8)
    • ►  October (4)
    • ►  September (4)
    • ►  August (7)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (4)
    • ►  April (7)
    • ►  March (8)
    • ►  February (9)
    • ►  January (5)
  • ►  2018 (36)
    • ►  December (9)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  July (5)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (25)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (4)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  September (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2014 (20)
    • ►  December (4)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (2)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2013 (8)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2012 (92)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (10)
    • ►  June (10)
    • ►  May (31)
    • ►  April (27)
    • ►  March (4)
  • ►  2011 (7)
    • ►  November (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)

SINIAR TEMAN CAHAYA

Followers

Postingan Populer

  • Semoga Allah Balas Usahamu
    Hai, Ca. Gimana kabarnya? Beberapa waktu lalu aku lihat kamu lagi kebanjiran, ya? Bukan, bukan kena bencana. Tapi, kebanjiran di...
  • Teruntuk Laki-Laki yang Sudah Dimiliki
    Tulisan kali ini cukup bar-bar, karena aku sengaja menulisnya untuk  para laki-laki di luar sana yang sudah memiliki tambatan hati. Anggapla...
  • Life Update Setelah Menghilang
    Hai, blogger. Rinduuuu teramat rindu nulis di sini. Rasanya belakangan ini terlalu banyak hal yang terjadi, sampai-sampai tidak sempat menul...
  • Semenjak Hari Itu...
    Semenjak hari itu, kehidupanku berubah drastis. Senyumku yang semula itu telah kehilangan rasa manis. Mencoba terus terlihat baik-baik saja ...
  • Selamat, untukmu.
    Sesuai judulnya, selamat. Selamat atas ilmu yang sudah ditempuh, selamat atas jerih payah mencapai cita-cita, selamat atas usaha...

Categories

Artikel 7 Ber-Seri 13 Berseri 1 Cahaya 15 ceirtaku 1 Ceritaku 249 Cerpen 5 Cinta 71 Feature 3 Hidup 18 Inspirasi 39 Inspiratif 15 Islam 65 Karya 16 Kebaikan Berbagi 6 Keluarga 44 Kisah 40 Kisahku 21 Liburan 10 Menulis 5 Motivasi 114 Resep 1 Sajak 55 Suratan Fiksi 26 Teman 55 Tips 3 Tips dan Informasi 31 Zakat 2

Subscribe this Blog

Name

Email *

Message *

Music

Pair Piano · 놀러오세요 동물의 숲 (Animal Crossing) Piano Compilation

nurnafisahh

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates