"Tidak mudah dimengerti, tidak mudah ditebak, dan filosofis. Persis. Seperti melihat gambaran Pak Fauzy selagi muda. Nyatanya tidak mudah memahami orang seperti beliau; terbukti banyak mahasiswa yang ragu, takut, bahkan enggan berdekatan. Tapi, nyatanya bisa-bisa saja," begitulah tweet-ku malam ini, dengan foto persis seperti di postingan kali ini.
Tiba-tiba, aku teringat pada sosok beliau, seroang wali dosen yang sempat lupa pada tugasnya. Ya, singkat ceritanya begini...
Jadi, beliau adalah dosen wali kelasku saat kuliah. Biasanya tugas seorang dosen wali adalah datang ke kelas beberapa kali dalam seminggu untuk mengontrol absensi hingga pembelajaran. Namun, di semester pertama ia tidak pernah datang. Semua orang justru bahagia. Karena konon, dari kabar yang beredar, beliau adalah salah satu dosen yang rese, menyebalkan, jutek, pokoknya tidak ramah terhadap mahasiswa. Katanya begitu.
Hingga suatu ketika, saat aku diamanahi menjadi ketua kelas, aku berencana untuk menemuinya. Ragu memang, karena adanya kabar-kabar tadi. Tapi, aku memberanikan diri untuk menemuinya dan menegurnya untuk datang ke kelas dan bercengkrama dengan mahasiswanya.
Susah pada awalnya, karena ternyata beliau adalah sosok dosen psikologi yang ahli membaca air muka—katanya. Wkwkwk. Ya, ternyata semakin lama aku sadar bahwa sebenarnya dia ini bukan rese atau gak ngertiin mahasiswa. Tapi, karena beliau justru paham bagaimana kondisi mahasiswa hanya dari raut muka, beliau tidak pernah banyak bicara dan sudah tahu harus menghadapi mahasiswanya bagaimana.
Ya, awalnya beliau gak asik. Ngomongnya terlalu jauh, gak sesuai teori, membosankan, bahkan kadang mahasiswa males sama beliau karena setiap ngomong pasti ada aja yang bilang, "Apaan sih." Kebayang ya dosen kayak gini gimana.
Tapi, dari situ justru aku penasaran sebenarnya bagaimana sih sosok Pak Fauzy sebenarnya. Kenapa orang orang begitu gak suka dengan beliau? Bukankah seorang dosen psikologi justru asik untuk diajak berbicara karena pasti bisa mengerti lawan bicaranya?
Dari situ, aku cukup banyak bicara dengan beliau. Dari yang ngomongin kondisi kelas, teman-teman, pelajaran, hingga ada di titik berbicara soal apapun di luar itu semua; keluarga, masalah pribadi, hingga percintaan.
Sosoknya yang filosofis kadang membuatku amazed karena beliau memang kelewat pintar. Sempat cerita banyak hal soal apa saja yang ia baca, dengar, tonton, hingga apapun yang membentuk dia sekarang. Kadang aku tidak mengerti bahkan gak tau apa yang ia bicarakan, tapi aku juga tidak bisa berpura-pura ngerti di depannya karena dia pasti tahu dan juga memahaminya.
Kenapa tiba-tiba inget Pak Fauzy?
Haha, lucunya, saat ini aku sedang punya teman yang persis seperti beliau. Rasanya aku seperti bertemu Pak Fauzy selagi muda; mungkin gambarannya seperti itu. Sama-sama filosofis, suka akan sastra, pintarnya tidak tertakar, hingga pemahaman akan sesuatu yang luar biasa.
Sementara aku, kadang-kadang kehabisan cara harus menghadapinya seperti apa. Tapi, di satu sisi aku menemukan ilmu baru dalam menghadapi orang yang jauh lebih pintar. Sesuatu yang tak pernah kudengar sebelumnya, tiba-tiba hadir di room chat aku dengannya. Beberapa kali juga aku searching kata-kata dan suatu hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Ah, rasanya random bisa bertemu lagi dengan orang yang sama seperti Pak Fauzy.
Sulit.
Sulit sekali.
Rasa insekyurnya ada, rasa senangnya ada, rasa sedihnya ada, rasa bingungnya juga ada. Kadang bingung harus melanjutkannya seperti apa.
Tapi, dulu, berteman dengan seorang dosen seperti Pak Fauzy menyadarkanku bahwa kita tidak perlu menjadi seperti dia jika ingin berteman. Kita cukup memahaminya, mendengarkannya, menerimanya apa adanya, hingga ia merasa dihargai, dicintai, dan nyaman. Lalu, kebaikan juga datang setelah hal-hal tersebut dipenuhi.
Ya, Pak Fauzy pasti tahu aku terbatas. Tidak semua hal yang dia katakan aku pasti mengerti. Tidak sama sekali. Bahkan aku tidak ragu berkata, "Maksudnya gimana, Pak, saya gak ngerti." Dan beliau sudah paham itu, dan sesekali dijelaskan lagi atau bilang, "Udah, nanti juga kamu ngerti sendiri."
Begitulah cara Pak Fauzy mengerti aku, begitupun sebaliknya. Meski kita seakan lahir dari latar belakang yang berbeda, justru perbedaan itu yang bikin kita sama-sama belajar menghargai dan membawa banyak kebaikan; beliau jadi akrab lagi dengan mahasiswa, suka kasih uang jajan buat anak sekelas, dan kebaikan lain yang muncul karena keakraban kita.
"Saya mau ucapin terima kasih sama kamu, karena kalau kamu gak datang untuk negur saya waktu itu, saya mungkin gak bisa akrab lagi sama mahasiswa," ucapnya padaku.
Dan sekarang, ketika dihadapkan oleh orang yang mirip dengan beliau, yang muncul pertama kali adalah pertanyaan,
"Apakah aku bisa memahaminya seperti Pak Fauzy kala itu?"
Tiap orang, beda cerita. Aku gak tau kelanjutan pertemanan kami sampai mana. Tapi, ya sudah, jalani saja. Meski sesekali bingung dan insekyur karena merasa tidak sebanding dengannya. Huhuhu. Semoga dia bisa memahamiku juga keterbatasanku~
Aamiin.