Nurnafisah's Blog

This is my e-dairy of #MenebarCahaya

  • Home
  • Tentang Aku
  • Tips & Info
  • Sajak
  • Kontak


Melihat judulnya saja, mungkin tak enak dibacanya. Sebab, tak ada satu keadaan apapun yang bisa membujuk kita untuk menerima kondisi ketika kita menjadi pilihan kedua. Rasanya, semacam dianggap ada tetapi bukan menjadi prioritasnya. Ya, terbayang banyak hal menyakitkan saat menjadi pilihan kedua. 

Ceritanya, aku ini sedang menasihati diriku sendiri yang sedang merasa tak suka dengan keadaan ini. Pasalnya, ada dua hal yang saat ini mengganggu ketenanganku perkara dijadikan pilihan kedua oleh orang lain. Hal ini berkaitan dengan perasaan, ya, erat kaitannya. Mungkin, kalau tak berkaitan dengan hati pun kita tak cukup nyaman bukan, dengan posisi ini?

Kasus pertama, datang dari seseorang yang belum lama kukenal. Kami berteman cukup baik setelah kami saling mengikuti akun media sosial kami satu sama lain. Setelah itu, aku melihatnya sering menaruh perhatian, mulai dari membalas story yang kubuat, menyimpan nomor whatsapp, hingga seringkali berkomentar atas apa yang kubuat di media sosial.

Awalnya, aku tak ada masalah. Sebab, aku pun tak menarik ke dalam hati tentang apapun yang dilakukan dan apa yang ia katakan. Aku betul-betul ikhlas berteman dengannya, sama seperti aku berteman dengan yang lain. Memang, jujur, ada suatu masa aku merasa ia sedang menaruh rasa padaku. Tapi, mendengar dugaanku sendiri dari dalam hati, aku tak mau terlalu percaya diri. Aku bahkan menganggapnya tak ada apa-apa. 

Hingga suatu ketika, dia memasukkanku ke dalam close friendnya. Dia bahkan seakan sengaja membuat story dengan menautkan nama perempuan lain dilengkapi simbol hati. Aku tidak cemburu. Sungguh. Bahkan, sejujurnya aku senang apabila dia sudah menemukan seseorang yang dia cari. Karena aku begitu yakin, aku membalas storynya dengan nada mengejek layaknya teman biasa. Ya, aku sekaligus memastikan bahwa itu pujaan hatinya. Dengan begitu, aku bisa lebih berhati-hati agar dugaanku sebelumnya tidak terbukti. Aku senang jika dugaanku meleset, yaitu jika dia tidak menyukaiku.

Namun, tak disangka, di waktu yang bersamaan, seseorang menghubungiku. Dia adalah salah satu teman dekat lelaki yang kuceritakan ini. Anehnya, kata temannya ini, lelaki ini langsung takut dan gugup ketika aku membalas storynya. Lelaki itu merasa aku cemburu pada perempuan itu. Bahkan, temannya sendiri cerita bahwa ia sengaja melakukan ini agar tahu bagaimana reaksiku kepadanya. Dan kebetulan, aku meresponnya. Ya, aku terjebak saat itu. Padahal aku tak ada niat cemburu sedikit pun, perasaan pun tak ada.

Kalau tahu begitu, mungkin aku tidak akan mengomentarinya saat itu. Parahnya lagi, lelaki itu seringkali menyebutkanku sebagai "istri keduanya" sebagai guyonan di depan kawan-kawannya. Ya, kedua. Temannya bilang, dia memang hobi mendekati perempuan di waktu yang bersamaan untuk menemukan pilihan terbaiknya. Dan aku menjadi pilihan keduanya. 

Rasanya, tak enak sekali didengar ketika ada seseorang yang secara tidak langsung hanya menjadikan kita sebagai "cadangan". Meski di satu sisi, aku pun tak peduli dengan perasaannya. Tapi, terlepas dari itu, bukankah menjadi pilihan kedua sangat tidak menyenangkan? Aku bahkan tidak mau menjadi orang kedua meski aku pun tidak menyukainya. Bukankah perasaanku tak salah?

Cerita kedua, datang dari seseorang yang bahkan belum pernah aku temui dan aku kenal. Suatu ketika, sahabatku mengajakku berbincang soal temannya yang katanya sudah siap menikah. Namun, sahabatku bilang, lelaki itu pernah gagal dalam taarufnya. Dengan alasan itulah sahabatku menawarkan aku untuk berkenalan dengannya. 

Singkat cerita, aku pernah juga gagal taaruf. Tapi, aku tidak menutup hati bagi orang baik yang juga punya niat baik dalam beribadah kepada Allah. Ya, jadi aku pun membuka diri dan menanyakan soal lelaki itu. Lalu, aku berbincang sedikit banyak tentang lelaki ini bersama sahabatku. Aku menanyakan kegiatannya, kriteria istrinya, kondisi keluarga, dsb. 

Meski aku belum memutuskan saat itu juga—akankah lanjut untuk taaruf atau tidak—aku dan sahabatku hanya berbincang ringan dengan harap kenal dulu dengan siapa yang hendak diperkenalkannya padaku. Sahabatku juga menanyakan kesiapanku soal ini, tak lupa juga ia tanya pada lelaki yang merupakan teman sekolahnya itu. 

Namun, baru saja mengenalnya lewat orang lain, ada pernyataan tak mengenakkan. Pasalnya, sahabatku bilang, lelaki ini juga masih berharap pada calon yang sudah dikenalinya lebih dulu. Ya, mungkin dia sedang ada dalam masa taaruf dan sedang menunggu keputusan dari pihak perempuan. Tak masalah bagiku. Aku pun tak nanya jauh soal itu.

Tapi, bukankah itu berarti aku juga sedang dijadikan pilihan keduanya? Menurutku, hal ini tak cukup mengenakkan untukku jika harus menjadi orang kedua. Aku seakan diberi harapan di atas gantungnya perasaan si lelaki yang sedang menunggu jawaban. Bukankah seharusnya ia selesaikan perkaranya lebih dulu, barulah ia bersedia untuk mengenal atau menerima perkenalan dengan wanita baru?

Mendengar hal ini dari orang lain, tampaknya aku tak bisa banyak berharap. Toh, aku dan lelaki itu juga belum ada ikatan dan persetujuan apapun. Jadi, sepantasnya aku tak memikirkannya terlalu jauh. Satu hal yang tidak mengenakkan di hati, yaitu ketika seorang lelaki dengan mudahnya menjadikan wanita lain sebagai pilihan keduanya. Berbeda halnya jika wanita itu tidak mengetahui posisinya (sebagai pilihan kedua) mungkin semuanya akan baik-baik saja. 

Melihat hal ini aku tidak menyerah, kok. Aku juga tidak benci pada dua orang ini. Hanya saja hal ini sedikit mengganjal di hatiku sebab seakan perasaan dan perhatian itu tidak mendarat dengan ikhlas dari hati mereka. Semoga saja ini hanya bualan burukku yang kucurahkan di dalam postingan ini. Mana tau sebenarnya ini bukan masalah besar bagi orang lain, hanya aku yang melebih-lebihkan. Ya, aku memang tak suka jadi pilihan kedua—mungkin orang lain biasa saja.

Di sisi lain, aku juga percaya bahwa suatu saat nanti aku akan menemukan seseorang yang mampu menjadikanku nomor satu, bukan menjadi pilihan keduanya. Aku percaya akan ada seseorang yang memang ingin menjadikanku ratu tanpa harus menjajarkan aku dengan kandidat ratu lainnya—ia menjadikan aku satu-satunya orang yang layak untuk dipilih. Dengan begitu, aku pasti jadi wanita paling beruntung di muka bumi karena dia telah ikhlas memilihku sebagai wanita satu-satunya. 

Begitupun buat kamu. Iya, kamu yang lagi baca postinganku ini. Percayalah, suatu saat nanti kamu akan bahagia dengan seseorang yang kamu pilih dengan ikhlas. Semoga ia menjadikan kamu satu-satunya orang yang akan menjadi pasangannya sehidup, semati, hingga sesurga. Aamiin, insyaAllah.


Pertengahan Juni kemarin hingga hari ini mengingatkanku pada masa setahun lalu, yaitu saat pandemi sedang ramai-ramainya (juga); membeli kebutuhan makanan untuk bekal berbulan-bulan, fasilitas umum ditutup, angka covid terus bertambah, kehabisan bahan pangan, mencari kesibukan untuk mengisi waktu di rumah, dan beragam aktivitas lainnya. 

Setahun lalu, kita benar-benar panik dengan melonjaknya kasus covid, sehingga berpengaruh pada gaya hidup kita sendiri. Tak hanya itu, perkembangan ilmu dan pengetahuan tentang virus ini pun belum semelejit sekarang. Belum ada vaksin, anggapan tentang masker berubah-ubah, gejala yang dijelaskan pun berbeda-beda, dsb. 

Dan saat ini, situasi seperti ini seakan terulang kembali—meski sudah dilengkapi vaksinasi, banyaknya sosialiasi, serta fasilitas yang mulai memadai. Angka covid melonjak jauh daripada setahun lalu. Per 3 Juli kemarin, angka kasus barunya mencapai 27 ribu lebih dan total kasus kematiannya dari awal hingga 3 Juli itu mencapai 60 ribuan jiwa. Innalillahi wa innailaihi rooji'un.

Setahun lalu, kita masih menemukan kasus-kasus covid yang diberitakan di wilayah besar, merujuk pada artis, pejabat, dsb, selalu ramai diperbincangkan. Kini, yang kutahu tiba-tiba muncul kabar ditelevisi bahwa public figure atau politisi dan pejabat itu meninggal karena covid—yang entah tidak tahu kabar kenanya sejak kapan karena tertutup dengan kasus-kasus yang tak kalah banyak dan penting. 

Dulu kabar ramai itu menghiasi internet dan televisi karena faktor keterkenalan yang membuat "apa-apa" dari mereka diberitakan, terlebih tentang covid. Namun, saat ini, tak hanya mereka yang sering diberitakan, ucapan belasungkawa pun sudah mendarat di layar handphone masing-masing karena saudara, tetangga, teman, kerabat, dan keluarganya sendiri yang sudah meninggalkan kita lebih dulu karena covid. 

Tak hanya kematian, kasus-kasus kekurangan oksigen pun tak kalah ramai. Banyak rumah sakit yang kehabisan tempat tidur untuk menampung warga-warga yang sakit. Banyak nakes yang berguguran karena lelah menghadapi situasi yang tak terkendali. Banyak yang juga memilih isolasi mandiri dan tak kuasa menolak mati. YaAllah, rasanya sedih sekali melihat kondisi belakangan ini. Jujur, aku sendiri merasa parno sekarang buat keluar rumah karena situasi ini. 

Dear teman-teman,
Mari jaga kesehatan, ya. Harus berapa banyak jiwa pagi yang gugur untuk menyadarkan kita betapa bahayanya virus ini? Teman-teman, satu hal yang harus kita sadari bahwa kematian tidak hanya mengikuti orang-orang dewasa atau lansia saja. Covid ini membuktikan bahwa siapapun bisa mati karenanya. Untuk itu, mari kita persiapkan diri jika kita bagian dari kemungkinan terburuknya. Jangan sepelekan kematian karena kita harus setidaknya mempersiapkan apa yang akan dibawa nanti ke akhirat—yaitu amalan shaleh, doa-doa yang baik, dan semua kebaikan.

Tapi, Teman-teman, itu hanyalah kemungkinan terburuk, kok. Kabar baiknya, Allah juga menyiapkan jalan untuk mencegahnya. Mungkin ini yang bisa kita ikhtiarkan bersama-sama, yaitu menjaga jarak saat bertemu orang lain, mencuci tangan sesering mungkin, memakai masker atau double masker kalau bisa, tidak keluar rumah apabila tidak terlalu penting, dan menjaga kesehatan dengan mengonsumsi berbagai suplemen, vitamin, serta makanan yang sehat. 

Mari kita ikhtiar menjaga diri dan jaga keluarga, ya. Jangan sampai kita kehilangan lagi orang-orang yang kita cintai. Aku berdoa semoga kita selalu dalam lindungan Allah, disehatkan selalu, dirajinkan ibadahnya, dan dijauhkan dari marabahaya. Aamiin..

Stay safe, ya. Stay healthy.

Catatan Awal Juli
Foto/Unsplash.com

Hari ini, hari kedua di bulan Juli 2021. Rasanya tak menyangka bisa ada di titik ini--titik di mana aku masih harus berjuang mencari pekerjaan tetap, berjuang membahagiakan orang tua, berjuang menjadi adik, kakak, dan anak yang baik, serta berjuang menjadi seseorang yang lebih bermanfaat lagi.

Sebenarnya, tidak ada masalah dari seorang freelancer seperti aku yang kerjanya serabutan dan tak menentu. Aku bahkan menikmati saja pekerjaan yang datang padaku dan bisa kuselesaikan dengan tenggat waktu yang lama. Di sana aku bisa menentukan sendiri kapan aku harus bekerja dan menjeda diri. Aku juga tak punya tunggangan apapun untuk mendapatkan gaji yang besar.

Sebenarnya, orang tuaku juga tak meminta apapun dariku untuk membahagiakan mereka. Yang terpenting, aku sudah bisa melewati semua fase pendidikanku dengan baik, bekerja dan mandiri, serta menjaga kesehatan di tengah pandemi seperti ini. Namun, entah mengapa rasanya belum afdal jika belum memberikan "sesuatu" untuk keduanya. Terlebih perkara "penghasilan" yang bisa aku berikan kepada mereka. Tetapi, jawabannya ada di paragraf nomor dua. Ya, aku masih freelancer dan pendapatanku tidak tetap.

Sebenarnya, untuk menjadi adik, kakak, dan anak yang baik juga tidak begitu mengikatku. Pasalnya, di tengah kondisi keluarga yang "gengsi" satu sama lain membuat mereka juga tidak menuntutku banyak hal. Seringkali bahkan kita hanya saling berbagi tentang apa yang dijalani masing-masing tanpa ikut campur satu sama lain. Ya, aku nyaman ada di kondisi ini. Tetapi, kadangkala aku juga membutuhkan perhatian penuh di mana aku bisa mengisi kembali motivasiku dari dalam keluarga.

Sebenarnya, salah satu poin terpenting ialah menjadi seseorang yang bermanfaat. Dengan motivasi ini aku selalu berusaha mengisi diri dengan hal-hal baik agar bisa dibagikan lagi kepada orang lain. Entah itu akan memberikan pandangan baru, motivasi baru untuk orang lain, bermanfaat bagi orang lain, atau hanya sekadar perantara hidayah dari yang lain.

Dalam mewujudkan poin terakhir ini, tentu aku harus selalu mengisi ruh juga dengan mendekatkan diri kepada Allah. Ya, ini poin yang mudah dimulai tetapi sulit diistiqomahkan. Atau bahkan sulit memulai karena masih terbawa sama lingkungan.

Poin-poin di atas memang akhir-akhir ini mengisi catatan 2021-ku sampai Juli ini. Terlebih aku merasa pandemi membuat mood-ku jadi naik turun. Seringkali aku merasa percaya diri, tetapi tak jarang juga aku merasakan lewah pikir (overthinking). Aku terlalu banyak memikirkan hal-hal yang mungkin tidak penting, tetapi juga sering memikirkan yang penting secara berketerusan. Tiada henti, sampai melelahkanku sendiri.

Seringkali aku merasa sangat membutuhkan seseorang untuk berbagi--tentu tidak hanya seorang pacar yang tidak abadi, melainkan seorang belahan jiwa sehidup, semati (dan sesurga-Nya). Tapi entahlah, semakin dipikirkan, aku juga sering merasa belum pantas apalagi jika mendapatkan seorang lelaki yang "jauh di atas aku". Akankah dia mau menerimaku?

Seringkali, pun, aku merasa sangat nyaman dengan kondisi keluarga yang saling terbuka, menerima, tanpa mengikat ini dan itu. Tetapi, aku juga terkadang merindukan keluarga yang saling perhatian, saling memuji, dan saling berpegangan tangan--yang mungkin jarang aku dapatkan. Memang, sesempurna apapun sosok keluarga itu, pasti ada kekurangannya. Tetapi, aku harus terus beryukur bukan? 

Seringkali juga, aku merindukan teman-teman lamaku yang dulu sedekat nadi, tetapi sekarang sedekat jari pun tidak--alias komunikasi daring saja jarang dilakukan. Aku selalu memikirkan hari-hari yang telah lalu untuk diambil pelajaran, termasuk saat aku dekat dengan orang-orang yang selalu tersimpan dalam ingatan. Ada beberapa di antaranya yang dulu menjalin kedekatan luar biasa, tetapi sekarang layaknya insan yang tak saling kenal. Astaghfirullah.

Seringkali juga aku berselisih dengan orang, entah disengaja ataupun tidak, yang jelas "berselisih" bukanlah satu hal yang aku inginkan. Jika menghadapi ini, rasanya ingin selalu aku selesaikan. Tapi, hingga saat ini, sepertinya masih ada perkara yang mengganjal di lubuk hati, ketika saat itu sempat berselisih dengan seorang teman. Entahlah, aku sudah berusaha semaksimal mungkin membangun kembali percakapan dengan baik--agar seperti dulu lagi--tetapi, yang kulihat tak ada respon lagi. Seseorang itu sepertinya sudah tak ingin merajut percakapan denganku.

Ya, catatan awal Juli ini sangat banyak, apalagi kalau aku sambungkan dengan beberapa bulan terakhir untuk menjadi bahan muhasabah kali ini. Menghadapi manis pahitnya cerita, aku hanya bisa berdoa kepada Allah untuk diberikan pundak yang lebih kuat lagi, hati yang lebih lapang lagi, serta pikiran yang jauh lebih jernih. 

Sebab, aku percaya apa yang ditakdirkan untukku pasti tak akan pernah melewatkanku. Pun dengan segala takdir yang diberikan-Nya untukku, itu pertanda Allah yakin bahwa aku mampu. Segala air mata jangan terlalu ditumpahkan untuk dunia, sebab aku yakin ada bahagia di kemudian hari yang telah disiapkan-Nya.

Bismillah, sudah setengah tahun dijalani--dan entah sampai kapan waktu ini akan habis. Semoga kita semua bisa menjalaninya dengan baik, ya. Jadikan kesedihan dan kepahitan hidup hanya sebagai muhasabah dan motivasi diri untuk mendapatkan hasil terbaik di kemudian hari, ya. Semangat, semoga kita selalu dalam lindungan Allah Swt.




Mungkin kita sering dengar ya yang namanya phobia/fobia, yaitu sebuah kondisi di mana seseorang merasa cemas atau takut terhadap hal, barang, hewan, atau kondisi sesuatu. Nah, berkaitan dengan hal ini aku mau cerita sedikit tentang apa yang aku alami. 

Entah kenapa setiap aku butuh keluar rumah (untuk mengerjakan tugas/kerjaan) dalam rangka mencari suasana baru dan ketenangan, rasanya aku merasa gak bisa pergi sendirian. Ya, aku memang seorang introver yang mau bagaimanapun rasanya lelah jika sedang/setelah berada dalam kondisi keramaian atau banyak orang gitu. Sampai sini masih wajar lah ya?

Namun, entah kenapa aku merasakan takut dan cemas yang berlebihan ketika aku tidak mendapatkan teman untuk menemani aku pergi. Gak tau ini lebay atau gimana, yang jelas rasanya tuh bikin nyeri dada, kepikiran, atau bahkan sering bikin keringet dingin. 

Jadi, dalam kondisi aku yang seperti ini aku tidak bisa memaksakan diri untuk sendirian saat bepergian. Rasanya teman-teman introver yang lain tidak separah aku, itulah yang membuat aku malam ini searching dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku mulai juga mencari solusi.

Tetapi, yang keluar malah tentang fobia yang bernama autophobia, yaitu kondisi seseorang yang takut atau cemas berlebihan saat sendirian/merasa sendiri. Dari pengertiannya sih sama seperti apa yang aku alami, tetapi saat kubaca lebih jauh, rasanya banyak yang tidak tepat. Misalnya, takut kesendirian ini juga berlaku bagi orang yang takut dalam keadaan sunyi, sendiri, sepi, dsb. Sementara aku justru biasa aja, bahkan kalau di rumah sendirian aku lebih gak masalah. 

Yang aku alami ini lebih kepada perasaan takut ketika aku berada di tengah keramaian dalam kondisi sendirian. Misalnya dalam sebuah bioskop, toko buku, kafe, mall, dll. Beberapa fasilitas umum juga takut aku naiki, seperti bus dan pesawat. Namun, kereta atau angkot sepertinya tidak terlalu masalah. Bahkan naik motor sendirian mengelilingi kota juga aku tidak merasa takut atau cemas—ini berlaku dalam jarak dekat aja sih, hehe.

Melihat hal ini, aku juga bingung sama diri aku sendiri. Apakah ini semua benar aku alami semata-mata karena sifat introver saja? Atau justru aku mengalami gangguan mental autophobia ini? Apakah trauma di masa laluku ternyata meliar gini dampaknya sampai hari ini? 

Ya, aku punya trauma yang mungkin gak bisa aku ceritakan di sini. Tapi, jika benar fobia ini aku alami, aku tidak pernah menyangka kalau ini dampak yang aku alami dari trauma masa lalu aku yang cukup membekas. Aku bahkan sampai tidak seberani itu untuk pergi sendirian ke beberapa tempat tertentu

Aneh, sebenarnya aku ingin tahu apa solusi dari masalahku ini. Tapi, kata temanku, tentang penyakit mental/traumatis ini tidak perlu didalami/dicari tahu sedalam itu. Sebab, bisa jadi semakin banyak kita tahu fakta yang ada, maka secara tidak langsung tubuh kita mengiakan apa yang sebenarnya belum tentu terjadi. Nanti bisa jadi sebenarnya aku tidak mengalaminya, eh jadi ngaku-ngaku mengalami hal itu. Paham gak sih maksudnya? Wkwkwk.

Jujur, keadaan kayak gini cukup nyiksa juga. Setiap butuh banget keluar rumah sendirian tuh kayak susah. Sesederhana nyari suasana baru buat kerja, nyelesain deadline, dll jadi terhambat karena gak menemukan teman dan waktu yang pas buat nemenin. Alhasil kecewa sendiri, sedih sendiri, nyesek sendiri, dan saat memutuskan "Yaudah, sendiri aja deh." Kayak beban banget, bikin kepikiran, dan cemas, sampai nyeri dada dan pusing atau bahkan keringet dingin gitu.

Apakah ada yang pernah mengalami hal yang sama juga ya? Atau ini cuma aku aja yang aneh? Menurut kalian gimana?

Satu sih solusi yang pasti, punya suami aja udah! Wkwkwkw. Biar kalo butuh teman ya selalu ada yang nemenin tanpa takut dan cemas lagi. Hahaha, canda suami! Masih nunggu doi yang tak datang ke dunia nyata sih hahaha.


Setiap aku mengalami kesulitan, orang pertama yang akan khawatir dan menolongku adalah ayahku. Aku memanggilnya Papa. Ya, dia memang orang tua yang protektif. Meski tidak pernah menyampaikan rasa sayangnya, semua tindakan Papa terlihat sekali sangat menyayangi gadis kecilnya, aku. 

Suatu hari, tepatnya beberapa hari lalu, laptopku kena musibah seperti postingan sebelum ini. Sementara akhir-akhir ini aku sedang mengerjakan beberapa projek pekerjaan freelance-ku. Ditambah lagi aku memang akan menggunakan laptop secara intens ke depannya. Mengingat hal itu, aku menangis dan kesal. Sebab, semua data penting menjadi tidak bisa dibuka karena terinfeksi ransomware.

Aku tidak langsung bicara pada Papa waktu itu, sebab aku tak mau ia ikut khawatir. Jadi, saat kejadian malam itu aku langsung menanyakannya kepada kakakku yang sedikit banyak paham tentang perkomputeran. Melihat tingkahku yang aneh, sepertinya Papa curiga, lalu ia memperhatikanku dan akhirnya ia tahu laptopku sedang bermasalah.

Kulihat wajahnya seakan tak mau ikut campur, dia juga mengetahui aku sedang panik dan emosi saat itu.  Ia tak mau semakin memperkeruh keadaan. Hingga keesokkan harinya, ketika aku sudah mulai tenang, aku mengajak Papa untuk mengantar ke counter komputer untuk membereskan laptopku.

"Pah, anter aku ke Jambu Du* mau?" tanya aku, sambil tidak tega sebenarnya untuk merepotkannya.

"Ayo," dengan apa adanya, dia selalu mau menerima tawaranku.

Tadinya aku ingin mengajak kakakku untuk mengantar, tetapi kulihat wajahnya sudah kesal sejak kemarin malam aku repotkan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajak Papa. Alhamdulillah, Papa selalu mau diajak putri kecilnya ini kalau sedang butuh bantuan. Papa memang baik.

Bahkan setelah sampai di counter, ternyata kita harus menunggu sampai kurang lebih 6 jam lamanya. Bosen? Pasti. Kita sampai bolak-balik buat makan, sholat, nunggu lagi, terus aja begitu. Tetapi, saat itu aku pasrah karena aku harus segera membereskan laptopku yang akan dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.

Di tengah perjalanan pulang, aku sedikit sedih karena laptopnya memang harus diinstall ulang. Data-data lama juga belum bisa dibuka karena virusnya membahayakan dan belum bisa dibersihkan. Itu membuatku harus menyelesaikan dari awal lagi tugas-tugas yang kemarin sempat kukerjakan.

"Yah, uang kemarin kepake semua buat laptop. Cuma lewat doang," keluhku, sambil berjalan.

"Gapapa. Anggap aja ini modal kamu buat kerjaan ke depannya, semoga nanti gak terjadi apa-apa lagi," ucap Papa menenangkan.

Aku mengaminkan dalam hati.

"Pah, aku mau Qurban," ucapku lagi.

"Terus, uangnya ada?" tanya Papa.

"Tadinya uang kemarin yang didapat pengen aku tabung, masih bisa kan buat tanggal 20," jawabku.

"Tapi, tiba-tiba semuanya kepake buat betuln laptop. Gimana dong?" tanyaku, saat Papa belum menjawab pernyataanku sebelumnya.

"Ya udah, Qurbannya nanti lagi aja. Gak usah dipaksain. Lagian kemarin Papa juga sudah daftar Qurban untuk keluarga. Jadi, kalau gak Qurban juga gapapa," jawabnya sambil berjalan beberapa langkah di depanku.

"Padahal pengennya Qurban pake uang sendiri," jawabku masih mengeluh.

"Iya, nanti insyaAllah bisa," jawabnya.

Entah kenapa, percakapan malam itu sangat mengharukan. Di tengah kelelahan kami menunggu kurang lebih 6-7 jam di counter, aku mengeluh dan overthinking. Namun, Papa menyadarkanku bahwa segala sesuatu memang sejatinya bukan milik kita.

Ketika beberapa waktu lalu aku mendapatkan rezeki dalam tahap awal projek baru, aku diuji oleh Allah dengan viru s di laptopku ini. Jadi, uang yang baru didapat justru terpakai untuk memperbaiki laptopnya. Benar kata Papa, mungkin rezeki saat itu memang buat benerin laptop untuk modal aku kerja ke depannya. Aku gak boleh marah, toh rezeki itu juga bukan sejatinya milik kita.

Percakapan itu juga menyadarkanku bahwa segala niat baik seharusnya diutamakan lebih dulu. Sayangnya saat rezeki itu sudah ditanganku, aku masih menyimpannya dengan alasan "Nanti dulu deh nabung Qurbannya, takut ada sesuatu yang harus dibeli." Dan benar saja! Kejadian, 'kan? Akhirnya memang seluruhnya ada yang harus dibeli/digunakan.

Papa memang olelaki terbaik yang ada di dunia, meskipun kadang-kadang ngeselin. Hehehe. Sehat-sehat, ya, Papa. Aku janji akan berusaha lebih keras lagi untuk bekerja. Maaf kalau anak kecilmu ini selalu merepotkanmu. Semoga Papa panjang umur, sehat terus, dan kerjanya juga lancar terus. Aamiin.

Semoga cerita kali ini bisa menginspirasi kalian juga, ya. Ambil baiknya, buang buruknya. Hehe.

Newer Posts Older Posts Home

Hai, kenalan yuk!

Namaku Nurnafisah, kamu boleh panggil aku Aca. Di Blog inilah aku berbagi cerita. Jangan lupa tinggalkan komentarmu, ya!

Mari kita berteman~

Pengunjung

Isi Blogku~

  • ▼  2024 (15)
    • ▼  December (1)
      • Life Update Setelah Menghilang
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  February (2)
    • ►  January (7)
  • ►  2023 (30)
    • ►  December (3)
    • ►  November (5)
    • ►  October (1)
    • ►  August (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (3)
    • ►  May (1)
    • ►  April (3)
    • ►  March (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2022 (25)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (4)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2021 (52)
    • ►  December (3)
    • ►  November (2)
    • ►  October (5)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (5)
    • ►  June (4)
    • ►  May (6)
    • ►  April (5)
    • ►  March (2)
    • ►  February (5)
    • ►  January (9)
  • ►  2020 (71)
    • ►  December (3)
    • ►  November (8)
    • ►  October (6)
    • ►  September (6)
    • ►  August (3)
    • ►  July (7)
    • ►  June (11)
    • ►  May (6)
    • ►  April (6)
    • ►  March (6)
    • ►  February (4)
    • ►  January (5)
  • ►  2019 (69)
    • ►  December (5)
    • ►  November (8)
    • ►  October (4)
    • ►  September (4)
    • ►  August (7)
    • ►  July (5)
    • ►  June (3)
    • ►  May (4)
    • ►  April (7)
    • ►  March (8)
    • ►  February (9)
    • ►  January (5)
  • ►  2018 (36)
    • ►  December (9)
    • ►  November (4)
    • ►  September (1)
    • ►  August (4)
    • ►  July (5)
    • ►  June (2)
    • ►  May (2)
    • ►  April (1)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (25)
    • ►  October (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (4)
    • ►  July (3)
    • ►  June (4)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (11)
    • ►  December (2)
    • ►  November (2)
    • ►  October (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2015 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  September (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2014 (20)
    • ►  December (4)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (2)
    • ►  August (5)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
  • ►  2013 (8)
    • ►  August (2)
    • ►  July (1)
    • ►  April (3)
    • ►  January (2)
  • ►  2012 (92)
    • ►  November (2)
    • ►  October (2)
    • ►  September (3)
    • ►  August (3)
    • ►  July (10)
    • ►  June (10)
    • ►  May (31)
    • ►  April (27)
    • ►  March (4)
  • ►  2011 (7)
    • ►  November (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (2)

SINIAR TEMAN CAHAYA

Followers

Postingan Populer

  • Semoga Allah Balas Usahamu
    Hai, Ca. Gimana kabarnya? Beberapa waktu lalu aku lihat kamu lagi kebanjiran, ya? Bukan, bukan kena bencana. Tapi, kebanjiran di...
  • Teruntuk Laki-Laki yang Sudah Dimiliki
    Tulisan kali ini cukup bar-bar, karena aku sengaja menulisnya untuk  para laki-laki di luar sana yang sudah memiliki tambatan hati. Anggapla...
  • Life Update Setelah Menghilang
    Hai, blogger. Rinduuuu teramat rindu nulis di sini. Rasanya belakangan ini terlalu banyak hal yang terjadi, sampai-sampai tidak sempat menul...
  • Semenjak Hari Itu...
    Semenjak hari itu, kehidupanku berubah drastis. Senyumku yang semula itu telah kehilangan rasa manis. Mencoba terus terlihat baik-baik saja ...
  • Selamat, untukmu.
    Sesuai judulnya, selamat. Selamat atas ilmu yang sudah ditempuh, selamat atas jerih payah mencapai cita-cita, selamat atas usaha...

Categories

Artikel 7 Ber-Seri 13 Berseri 1 Cahaya 15 ceirtaku 1 Ceritaku 249 Cerpen 5 Cinta 71 Feature 3 Hidup 18 Inspirasi 39 Inspiratif 15 Islam 65 Karya 16 Kebaikan Berbagi 6 Keluarga 44 Kisah 40 Kisahku 21 Liburan 10 Menulis 5 Motivasi 114 Resep 1 Sajak 55 Suratan Fiksi 26 Teman 55 Tips 3 Tips dan Informasi 31 Zakat 2

Subscribe this Blog

Name

Email *

Message *

Music

Pair Piano · 놀러오세요 동물의 숲 (Animal Crossing) Piano Compilation

nurnafisahh

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates