Kembali Kerja di Lapangan


Berawal dari cerita yang bisa kalian baca di sini, aku menjadi terperangkap pada pekerjaan di luar kebiasaan. Awalnya, aku memang benar-benar tau untuk bisa terjun ke dunia videografi. Pasalnya, aku juga memang punya kemampuan yang payah soal itu. Tapi, saat diberikan kesempatan itu, aku akan sangat menyayangkan ketika aku tidak mengambilnya. Akhirnya, saat itu aku bergabung pada bisang Tata Kecantikan Rambut untuk membuat Bahan Ajar Audio Visual (BAAV).

Setelah itu, aku mendapat banyak sekali pelajaran. Ya, aku benar-benar belajar. Saat itu, aku merasa belum menjadi anggota yang baik karena tak bisa seaktif teman lainnya. Bahkan, memegang kamera pun sangat jarang, kemampuan editing pun tak seberapa, pun dengan kemampuan komunikasi dengan orang baru juga adalah keterbatasanku yang mungkin tidak bisa dilakukan secara instan.


Dari kekurangan itulah aku belajar pada project kedua BAAV ini, di mana saat ini aku diamanahkan menjadi ketua. Sebenarnya, aku sudah beberapa kali mengepalai grup tugas di kelas atau bahkan jadi ketua kelasnya. Tapi, kurasa berbeda ya jika harus menjadi ketua di antara orang-orang yang baru dikenal dalam waktu singkat.

Di project video ini, aku sebenarnya ingin sekali memperbaiki kekurangan saat menjalankan project yang pertama. Aku ingin sekali meningkatkan performa dan kerja kerasku untuk bisa jauh lebih baik. Namun, entah kenapa ada baik buruknya ketika aku menemukan anggota-anggota tim yang ternyata jauh luar biasa daripada aku, jauh berkemampuan dan jauh berpengalaman daripada ketuanya sendiri.

Pasalnya, anggota tim justru terlihat lebih aktif dan lebih giat dalam mengejar scene per scenenya. Yang dua tak lepas daripada kamera, yang satu lagi tak lepas memegang naskah. Padahal, awalnya aku sudah membagi tugas agar semua adil memegang tanggung jawab. Sementara aku lebih banyak diam, memantau, bahkan tidak kerja apa-apa selain bertugas menjadi back-up.

Entah ini terdengar menyenangkan atau justru buruk, tapi sejujurnya aku justru merasa gagal dan insecure. Sebab, ternyata aku masih belum bisa maksimal dalam memimpin tim di lapangan. Hal-hal yang tadinya ingin aku perbaiki saat project kedua ternyata belum bisa tercapai. Bahkan, rasanya "menjadi sia-sia" lagi seperti dahulu kala.

Aku benar-benar merasa tidak berguna. Tapi di satu sisi, sangat bersyukur bisa mendapatkan tim yang hebat-hebat. Bahkan, mungkin tanpa adanya aku mereka akan tetap bisa berjalan. Namun, dari dua project yang sudah kulewati ini aku belajar bahwa ternyata kembali kerja di lapangan bukan sesuatu yang terlihat menyenangkan bagiku.


Dari sini aku tersadar bahwa sepertinya aku memang bukan terlahir sebagai "anak lapangan". Aku bukan seseorang yang bisa beradaptasi cepat pada lingkungan baru, aku selalu merasa lelah ketika menghadapi situasi kerja dengan suasana keramaian, aku juga bukan orang yang mudah meng-improvisasi sesuatu dalam waktu cepat.

Berseberangan dengan itu, aku adalah orang yang harus berlama-lama untuk bisa akrab dengan orang lain, aku juga bisa lebih maksimal bekerja dalam keadaan sepi atau bahkan sendirian, aku juga tipe orang pemikir yang kalau memutuskan sesuatu harus dengan pertimbangan dan matang. Sementara, project video ini adalah kondisi yang berseberangan dengan kepribadianku.

Ya, memang belajar di luar kemampuan dan bekerja di lapangan memang tidak mudah. Mungkin itu yang bikin aku merasa tidak cocok menjadi jurnalis, meskipun aku lulusan jurnalistik. Sejatinya, memang diri kita sendiri itu paham dan sadar atas diri kita sendiri. Iya gak sih? Kalian sering gak ngerasa kayak gitu?

Ketika segala sesuatunya gak enjoy, itu sebenarnya menjadi alarm untuk diri kita sendiri dan tanda bahwa sebenarnya ada yang tidak beres di dalam diri kita. Sama halnya ketika kita tiba-tiba kebelet, itu artinya perut kita kepenuhan, jadi harus dikeluarkan. Sama juga seperti emosi yang tertahan terlalu lama, akhirnya keluar sebagai tangisan tanpa kita minta. Hal itu menjadi tanda bahwa kita sudah tidak kuat menahannya.

Ya, sama seperti satu malam di hari syuting kemarin. Tanpa sengaja, aku melupakan satu meeting penting untuk persiapan syuting video ketiga (sama juga bikin BAAV). Amanah baru lagi, mengetuai satu bidang untuk video selanjutnya yang tidak bisa ditolak. Saat itu, aku benar-benar bergegas join meeting di tengah-tengah syuting yang sedang berjalan malam hari.

Sampai di satu titik, aku sudah tak bisa lagi menahan. Ya, di situ aku menangis sendirian. Teman-teman lainnya sibuk di lobi hotel untuk syuting. Sementara aku, nangis di depan lift lantai 4, sendirian, sambil mendengarkan segala hinaan, caci maki, serta hal-hal yang sebenarnya tak ingin didengar.

Pasalnya, aku sama sekali memang tidak ada persiapan untuk meeting malam itu. Aku benar-benar lupa. Bahkan belum ada briefing apa-apa dengan tim karena memang sibuk dengan syuting video kedua ini. Rasanya hancur sekali malam itu. Tangis benar-benar pecah dengan sendirinya. Air mata yang keluar menumpuk di masker putihku dan membasahi seluruh mukaku malam itu.


Rasa bersalah, insecure, dan perasaan gagal memimpin di tim perhotelan belum selesai, tetapi sudah ditambah lagi dengan beban baru. Aku benar-benar merasa hancur saat itu. Rasanya ingin meluapkannya, tapi tidak bisa apa-apa selain diam, menangis, dan tidak mood ngapa-ngapain. Huft. 

Mungkin di antara teman-teman perhotelan menyadari itu. Aku terlihat sering sibuk sendiri, sering diam tak bisa apa-apa, sedikit bicara, bahkan ada kalanya benar-benar tak merespons apapun. Ternyata begitu rasanya menyimpan beban sendirian, apalagi bebannya ini sangat amat di luar dari kebiasaan, kemampuan, dan kemauanku.

Teruntuk tim perhotelan, maaf ya belum bisa jadi ketua yang baik. Bahkan sepertinya gak bantu apa-apa selain bantu angkat peralatan syuting. Mungkin, kalau untuk membantu membuat naskah, menyusun RAB, dan tugas-tugas semacam itu masih bisa dihandle dengan baik, meskipun gak mudah juga. Tapi, untuk kembali kerja di lapangan adalah satu beban berat buat aku, sehingga tidak bisa semaksimal kalian. Mianhae.

Setelah ini, kalau ditanya ingin terjun lagi ke dunia yang sama atau engga, jawabannya: kalau bisa ditolak, kenapa enggak? Hahaha. Lelah, bund.

Rasanya sudah cukup mencicipi pekerjaan ini. Pengalaman manis pahitnya sudah dicoba, kok. Bahkan mungkin setelah ini rasanya ingin menikah saja wkwkwk. Gak deng, bercanda. Eh tapi ya gapapa juga kalau emang udah waktunya. Wkwkw. Dahlah.

Tapi, aku juga tidak memungkiri bahwa banyak banget segala hal yang Allah kasih buat aku. Bukankah setiap amanah dan tugas yang datang adalah sebuah pembelajaran? Kalau kita merasa itu ujian, bahwa ujian tak pernah salah pundak. Itu artinya, seberat apapun yang aku hadapi sekarang itu artinya Allah percaya aku mampu melewatinya.

Itu yang selalu aku tanamkan dalam diri. Semoga sih harapannya bisa menjadi diri yang lebih baik lagi. Aku juga berharap semua lelah menjadi lillah dan segala rintangan segera berakhir. Ujian akan membuat kita semakin kuat, bukan? 😉

Cukup sekian aja ceritanya, deh. Kalau kebanyakan nanti bosen juga. Sebenarnya ini dokumentasi aja sih untuk pribadi, pun jadi tempat berkeluh kesah saat emang gak ada teman yang bisa aku ceritakan detail soal ini. Hehe. Semoga bisa diambil baik-baiknya, ya.

2 Komentar

  1. You more than what you think bby❤️ semangat terus ya. Lakuin apapun yang kamu nyaman, biar lelah asal lillah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih incesss, aamiin yaAllah. Kamu juga yaaa semangat terus menghadapi kehidupan yg keras iniii❤❤

      Delete

Silakan tambahkan komentar Anda. Terima kasih sudah berkunjung.