Aku memiliki dua orang sahabat, ialah Reina dan Senja. Di antara kami bertiga, akulah yang paling keras kepala. Kata orang yang belum mengenalku, aku ini orang yang pendiam, tapi bagi mereka yang sudah mengenalku mungkin ucapannya berbanding terbalik. Itulah mungkin mengapa muncul ungkapan “Jangan melihat seseorang dari sampulnya,” kurasa itu benar adanya.
Walaupun sikap di antara kami sangat berbeda, kami bertiga sering sekali tak terpisahkan, Aku dengan hobiku yang aktif di sosial media dan kadang tak acuh dengan lingkungan.
Reina dengan sifat pendiam dan hobi membacanya menjadi salah satu sebab mengapa ia terlihat cerdas daripada kami berdua. Berbeda lagi dengan Senja yang selalu aktif di luar kampus, membuatnya begitu pandai berbicara di depan umum.
Suatu hari, kami bertiga berdiskusi di perpustakaan. Aku sambil memegang buku agendaku, Reina dengan buku bacaannya, dan Senja dengan laptop kesayangannya. Tiba-tiba Senja bertanya padaku.
“San, kenapa kamu suka sekali mengumbar keseharianmu di blogmu itu?” tanya Senja saat membuka blogku pagi itu.
“Memangnya ada yang salah?” jawabku ketus.
“Ya… tidak. Tapi kan tidak semua hal harus kautulis. Benar begitu?” tanya Senja.
“Terserah aku lah! Itukan blogku,” jawabku sedikit kesal.
“Mungkin maksud Senja, posting yang baik-baik saja, jangan tulis kejelekan orang juga di sana, San. Aku sudah baca tulisanmu yang kesal dengan gebetanmu itu, ya menurutku itu juga tidak penting,” kata Reina tanpa berpaling dari bukunya.
“Tapi aku ‘kan memang sakit hati dengan dia, memangnya salah jika aku mengutarakannya melalui tulisan? Kalian ini bukannya mendukung malah menyudutkanku!” kataku sambil marah.
“Bukan begitu, tapi…” kata Senja, lalu aku memotong omongannya.
“Sudahlah, aku mau ke kelas. Sebentar lagi masuk,” jawabku, lalu aku langsung merapikan alat tulisku ke dalam tas.
“Baiklah, ayo kita kembali ke kelas,” jawab Reina yang mengikuti keputusanku.
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Mata kuliah kedua akan segera dimulai. Ternyata dosen bahasa Indonesia kali ini tidak dapat hadir, lalu diberikanlah tugas yang harus dikumpulkan melalui surel.
Seperti biasa, saat dosen tidak ada, kelas langsung bubar. Aku, Reina, dan Senja juga bergegas pulang. Kali ini aku tidak pulang bersama mereka, karena aku masih kesal dengan omongan mereka tadi pagi.
Hari mulai berganti malam, matahari sudah larut dalam langit yang mulai hitam. Aku yang saat itu segera mengerjakan tugas tiba-tiba tergoda dengan notifikasi dari instagram. Lalu, aku berencana membukanya sebentar.
Lagi-lagi Reina dan Senja membuatku kesal. Senja mengunggah foto makan siang bersama Reina tanpa mengajakku, padahal katanya mereka akan langsung pulang siang tadi. Dengan keterangan foto yang panjang, Senja mendeskripsikan sosok Reina yang telah mentraktirnya makan siang di restoran bergengsi di Jakarta.
“Makan siang aja pamer, gak ngajak aku lagi!” kataku dalam komentar foto itu.
Beberapa menit kumeninggalkan komentar, tiba-tiba komentarku hilang. Sepertinya Senja telah menghapusnya. Langsunglah aku kirim pesan instagram kepadanya.
“Apa maksudmu menghapus komentarku?” tanyaku marah.
“Jangan membuat citra buruk di media sosial,” jawab Senja.
“Kamu duluan yang memancing,” jawabku.
“Kalau kita berkomentar tidak baik di media sosial, orang lain akan menganggap kita ini tidak baik. Kamu mau?” tanya Senja.
Suatu hari, kami bertiga berdiskusi di perpustakaan. Aku sambil memegang buku agendaku, Reina dengan buku bacaannya, dan Senja dengan laptop kesayangannya. Tiba-tiba Senja bertanya padaku.
“San, kenapa kamu suka sekali mengumbar keseharianmu di blogmu itu?” tanya Senja saat membuka blogku pagi itu.
“Memangnya ada yang salah?” jawabku ketus.
“Ya… tidak. Tapi kan tidak semua hal harus kautulis. Benar begitu?” tanya Senja.
“Terserah aku lah! Itukan blogku,” jawabku sedikit kesal.
“Mungkin maksud Senja, posting yang baik-baik saja, jangan tulis kejelekan orang juga di sana, San. Aku sudah baca tulisanmu yang kesal dengan gebetanmu itu, ya menurutku itu juga tidak penting,” kata Reina tanpa berpaling dari bukunya.
“Tapi aku ‘kan memang sakit hati dengan dia, memangnya salah jika aku mengutarakannya melalui tulisan? Kalian ini bukannya mendukung malah menyudutkanku!” kataku sambil marah.
“Bukan begitu, tapi…” kata Senja, lalu aku memotong omongannya.
“Sudahlah, aku mau ke kelas. Sebentar lagi masuk,” jawabku, lalu aku langsung merapikan alat tulisku ke dalam tas.
“Baiklah, ayo kita kembali ke kelas,” jawab Reina yang mengikuti keputusanku.
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Mata kuliah kedua akan segera dimulai. Ternyata dosen bahasa Indonesia kali ini tidak dapat hadir, lalu diberikanlah tugas yang harus dikumpulkan melalui surel.
Seperti biasa, saat dosen tidak ada, kelas langsung bubar. Aku, Reina, dan Senja juga bergegas pulang. Kali ini aku tidak pulang bersama mereka, karena aku masih kesal dengan omongan mereka tadi pagi.
Hari mulai berganti malam, matahari sudah larut dalam langit yang mulai hitam. Aku yang saat itu segera mengerjakan tugas tiba-tiba tergoda dengan notifikasi dari instagram. Lalu, aku berencana membukanya sebentar.
Lagi-lagi Reina dan Senja membuatku kesal. Senja mengunggah foto makan siang bersama Reina tanpa mengajakku, padahal katanya mereka akan langsung pulang siang tadi. Dengan keterangan foto yang panjang, Senja mendeskripsikan sosok Reina yang telah mentraktirnya makan siang di restoran bergengsi di Jakarta.
“Makan siang aja pamer, gak ngajak aku lagi!” kataku dalam komentar foto itu.
Beberapa menit kumeninggalkan komentar, tiba-tiba komentarku hilang. Sepertinya Senja telah menghapusnya. Langsunglah aku kirim pesan instagram kepadanya.
“Apa maksudmu menghapus komentarku?” tanyaku marah.
“Jangan membuat citra buruk di media sosial,” jawab Senja.
“Kamu duluan yang memancing,” jawabku.
“Kalau kita berkomentar tidak baik di media sosial, orang lain akan menganggap kita ini tidak baik. Kamu mau?” tanya Senja.
(Bersambung)
0 Komentar
Silakan tambahkan komentar Anda. Terima kasih sudah berkunjung.