(Sementara) Sendiri


Menjadi anak satu-satunya untuk sementara waktu membuat aku berpikir, bahwa sebenarnya secara tidak langsung, Allah sudah menitipkan satu amanah baru, yaitu menjaga kedua orang tuaku di saat saudaraku yang lain sedang tidak membersamai.

Kondisi ini sebenarnya sudah sering aku rasakan, apalagi semenjak adikku kuliah di Bandung dan menetap di sana untuk beberapa waktu. Sementara itu, kakak perempuanku sudah sibuk mengurus keluarga kecilnya di Jakarta dan kakak laki-lakiku sedang berjuang menyelesaikan skripsinya di Bali. 

Tentu, kondisi ini membuat rumahku sepi. Aku hanya tinggal bertiga dengan orang tuaku. Sesekali kulihat mata-mata mereka yang mulai kesepian. Hampir tiap malam, ayahku menghabiskan waktu di beranda rumah sambil menatap langit yang belum tentu berbintang. Ya, aku tahu betul dia benar-benar kesepian. 

Berbeda dengan ayahku, ibuku malah memilih untuk pergi mencari kesibukan, padahal dia tidak dalam keadaan bekerja. Yang kutahu, dia hanya tak ingin terlihat lemah di hadapan anaknya. Untuk itu, wajar saja jika dia mencari hiburan di luar sana untuk menghilangkan rasa kesepiannya. Aku tahu betul bagaimana masing-masing dari mereka bersembunyi dari rasa sedihnya. 

Mungkin suatu saat nanti—kalau saja ada umur panjang—kita akan sama-sama mengerti kondisi ini; anak-anak yang mulai dewasa, kondisi rumah yang sepi, menghabiskan masa tua, dan menanti waktu luang untuk berkumpul lagi bersama keluarga besar.

Jangankan di masa tua, di masa sekarang saja aku kadang merindukan kumpul keluarga secara utuh seperti sedia kala. Kita bisa menghabiskan waktu setiap hari, menyisihkan waktu untuk berlibur di hari Minggu, bersenda gurau setiap menjelang malam, makan bersama walau hanya dengan lauk ala kadarnya. Ahh, semuanya begitu indah jika dibayangkan lagi. Benar-benar membuat rindu seisi rumah.

Suatu hari, ibuku pernah bertanya:
"Jika saja kalian semua sudah berkeluarga, apakah akan ada salah seorang dari kalian yang mau merawat kami di masa tua?"

Hatiku terenyuh. Jelas saja, kondisi itu akan terjadi dan mereka sudah memikirkannya dari jauh-jauh hari. 

Dalam kondisi ini—di saat aku membersamai mereka—mungkin aku yang akan paling bersedih saat situasi itu terjadi. Sebab, hanya aku dari keempat anaknya yang tidak pernah pergi jauh dari rumah. Logikanya, akulah yang sering bertatap muka dengan mereka, menyalami tangan mereka setiap hendak pergi, menjadi saksi suka duka mereka selama ini, dan menjadi orang yang harus bertanggung jawab jika sesuatu terjadi. 

Mungkin inilah salah satu risiko menjadi dewasa. Kita akan dihadapkan dengan banyak nestapa. Bahkan, kebahagiaan yang semula terbingkai manis di pikiran kini hanya bisa diungkit saja. Tentu, sebagai orang dewasa kita harus mulai menciptakan bahagia itu sendiri, tanpa lagi mengiba kepada kondisi. 

Baiklah, kurasa cukup luapan isi hati kali ini. Yang terbaik: semoga orang tua kita sehat selalu, bahagia selalu, tercukupi selalu, dan dilindungi selalu oleh Allah SWT. Semoga untukmu dan keluarga juga, ya. 

Selamat Malam Minggu.
Kali ini, malam ini sepi sekali rasanya. Hehehe.

2 Komentar

  1. Aku lagi merasakan ini.. Kemarin sempet kumpul semua satu keluarga, pas udah pada berangkat lagi kerasa bgt sepinya:")

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banget, kamu di kampung bertiga ya sekarang? Aku juga nih, opang lg ke bandung udah seminggu.. huhu jd sepi lagi, suka sedih dehh :')

      Delete

Silakan tambahkan komentar Anda. Terima kasih sudah berkunjung.